3 Memperbaiki diri. Setelah berdoa, hendaknya seorang muslim memperbaiki diri supaya pantas untuk bersanding dengan jodoh terbaik. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam surat An Nur ayat 26 menjelaskan bahwa "orang baik akan mendapatkan jodoh yang baik, dan orang yang buruk akan mendapatkan jodoh yang buruk pula". Pengalaman batin kerap kali dirasakan mereka pada suasana genting di mana hajat mereka kepada Allah menguat. Saat melewati masa-masa genting, manusia kerap merasakan kedekatan dengan Allah dibanding ketika ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Hal ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah RA pada hikmah berikut وجدت من المزيد في الفاقات مالا تجده في الصوم والصلاةArtinya, “Kadang kamu menemukan bonus di saat hajat-kritis yang tak kaudapati di saat shalat dan puasa.”Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili memahami dua kewajiban manusia terhadap Allah. Menurutnya, manusia memiliki kewajiban umum dan khusus. Kewajiban umum merupakan kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan perintah formal lainnya. Sedangkan kewajiban khusus merupakan pernyataan kefakiran manusia di hadapan-Nya bahwa kita bukanlah apa-apa dan siapa-siapa saat menjalani ibadah shalat, puasa, atau ibadah وذلك أن مطلوب الحق من الخلق مطلوبان مطلوب عام وهو الأعمال التي منها الصوم والصلاة ومطلوب خاص وهو شهود الفاقات منك ومما لك من الأعمال لشهود ما قام بك ربها من تجليات الأسماء والصفات، وهذا هو مفاد المطلوب الخاص منك في القيام بالمطلوب العام فإنك تجد به من المزيد لفنائك عنك وعنه ما لا تجده في الصلاة والصيام لثبوتك معك ومعهماArtinya, “Menurut saya, Allah memiliki dua tuntutan untuk manusia. Pertama, tuntutan umum, yaitu amal ibadah berupa puasa dan shalat. Kedua, tuntutan khusus, yaitu menyaksikan kondisi hajat-kritismu dan amal-amal yang dilekatkan padamu agar kamu menyaksikan penampakan asma dan sifat Allah yang diperbuat oleh-Nya terhadapmu. Ini merupakan makna dari tuntutan khusus terhadapmu di dalam memenuhi tuntutan umum-Nya. Pasalnya, kamu menemukan bonus ini karena kau fana dari dirimu dan dari tuntutan khusus tersebut yang tak kaudapati di saat shalat dan puasa karena kau hadir bersama shalat dan puasamu,” Lihat Syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili, Ihkamul Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan pertama, 2008 M/1429 H, halaman 113.Syekh Ibnu Abbad mencoba menjelaskan kenapa perasaan lebih dekat dengan-Nya dialami ketika manusia dalam kondisi genting dan hajat dibanding saat shalat, puasa, dan lain sebagainya. Menurutnya, ibadah shalat, puasa, dan seterusnya rawan disusupi nafsu dan syahwat yang menghalangi pandangan mata batin atas kehadiran dan peran Allah dalam ibadah الفاقات يحصل للمريد بها مزيد كثير من صفاء القلب وطهارة السريرة وقد لا يحصل له ذلك بالصوم والصلاة لأن الصوم والصلاة قد يكون له فيهما شهوة وهوى كما تقدم وما كان هذ سبيله لا يؤمن عليه فيه من دخول الآفات فلا يفيده تحلية ولا تزكية بخلاف ورود الفاقات فانها مباينة للهوى والشهوة على كل حال Artinya, “Kondisi hajat-kritis kerap memberikan banyak bonus berupa kebersihan hati dan kesucian batin bagi murid. Bonus ini kadang tidak ditemukan ketika shalat atau puasa karena syahwat dan dorongan nafsu menyertainya saat menjalani kedua ibadah itu sebagai uraian yang lalu. Kalau jalan itu memang tak selamat dari kemungkinan hama/penyakit, maka tidak berfaidah lagi padanya sifat-sifat terpuji dan upaya pembersihan dari sifat tercela, berbeda dengan kondisi hajat-kritis karena kondisi kritis ini bertolak belakangan dengan syahwat dan dorongan nafsu dalam segala keadaan,” Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa keterangan tahun, juz II, halaman 13.Hikmah ini tidak menganjurkan orang lain untuk mengurangi amal-ibadahnya. Pada hikmah ini Syekh Ibnu Athaillah menyatakan bahwa kewajiban manusia kepada Allah terbagi dua di mana kedekatan kepada-Nya bisa saja dirasakan meningkat ketika batin diliputi perasaan genting mencekam di luar ibadah formal. Wallahu alam. Alhafiz K Azzampun menepati janjinya ke keluarganya untuk kembali ke kampung dan segera mencari jodoh di sana, memenuhi amanat ibunya. Ungkapan dan untaian kata dari seorang tokoh dan dari kitab-kitab ilmiah seperti kaya ibnu Athaillah As Sakandari. (2002), Menyucikan Jiwa (2005), Rihlah ilallah (2004), dll. Cerpen-cerpennya dimuat dalam Tidak sedikit dari kita kerap berburuk sangka kepada Allah. Kita sering mengira bahwa Allah mengabaikan hamba-Nya hanya karena bencana dan derita yang kita alami. Padahal ujian dan cobaan yang kemudian “memaksa” kita untuk bermunajat kepada-Nya adalah cara Allah memilih hamba-Nya. Hal ini disinggung dengan jelas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmah berikut أطلق لسانك بالطلب فأعلم أنه يريد أن يعطيكArtinya, “Ketika Allah SWT menggerakkan lidahmu melalui sebuah doa, ketahuilah bahwa Dia ingin memberikan karunia-Nya kepadamu.”Dari sini kita dapat memahami bahwa orang-orang yang berdoa dan bermunajat merupakan hamba-hamba pilihan Allah. Ketika Allah menjatuhkan pilihan-Nya kepada kita atas sebuah cobaan, pada hakikatnya Dia mengasihi kita yang kemudian memperkenankan kita untuk bermunajat kepada-Nya. Demikian uraian Syekh Ibnu Abbad atas hikmah أنس بن مالك رضى الله عنه قال قال رسول الله إذا أحب الله عبدا صب عليه البلاء صبا وسحه عليه سحا فإذا دعا قالت الملائكة صوت معروف وقال جبريل يا رب عبدك فلان اقض حاجته فيقول الله "دعوا عبدي فإني أحب أن أسمع صوته" فإذا قال يا رب قال الله تعالى لبيك عبدى وسعديك لاتدعونى بشئ الا استجبت لك ولا تسألنى شيئا الا أعطيتك إما أن إعجل لك ما سألت وإما أن أدخر لك عندى أفضل منه وإما أن أدفع عنك من البلاء ما هو أعظم من “Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Bila Allah jatuh cinta kepada salah seorang hamba-Nya, maka Allah mengucurkan dan mengalirkan ujian kepadanya. Kalau ia lantas bermunajat, malaikat bergumam, suara orang ini tak asing.’ Lalu Jibril memberanikan diri, Ya Allah, itu suara si fulan, hamba-Mu. Penuhilah permintaannya.’ Allah menjawab, Para malaikat, biarkanlah ia. Aku senang mendengar suara munajatnya.’ Kalau ia menyeru, Tuhanku.’ Allah menjawab, Labbaik wa sadaik aku sambut panggilanmu wahai kekasih-Ku. Tiada satupun yang kau doakan, melainkan pasti Kukabulkan. Tiada satupun permintaanmu, melainkan pasti Kuberikan. Bisa jadi Kukabulkan segera doamu. Bisa jadi Kutangguhkan permintaanmu dan Kuganti dengan yang lebih baik. Bisa jadi juga Kuhindarkan dirimu dari bala yang lebih berat ketimbang bencana itu,’’” Lihat Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, juz I, halaman 76.Syekh Ibnu Abbad mengutip hadits Rasulullah SAW bahwa mereka yang dikasihi dan dicintai Allah adalah hamba-hamba-Nya yang diperkenankan untuk bermunajat kepada-Nya berlama-lama melalui pintu ujian dan cobaan. Allah menginginkan mereka yang menerima cobaan untuk sering-sering bagaimana dengan pengabulan doa dan permohonan dalam munajat kita? Lagi-lagi, kita tidak perlu khawatir. Allah takkan mengingkari dan menelantarkan hamba-Nya sebagai disinggung Syekh Syarqawi berikut عليه الصلاة والسلام من أعطى الدعاء لم يحرم الإجابة أى اما بعين المطلوب أو بغيره عاجلا أو آجلا قال بعضهم هذا اذا كان الدعاء صادرا عن اختيار وقصد أما اذا جرى على اللسان من غير قصد فان الاجابة بعين المطلوب لا تكاد تتخلفArtinya, “Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja yang dikaruniakan ibadah doa, maka ia takkan luput dari ijabah,’ baik ijabah atas hajat yang disebutkannya di dalam doa maupun ijabah atas hajat yang tidak disebutkan substitusi entah dalam waktu seketika atau ditangguhkan. Sebagian ulama memahami bahwa itu berlaku pada doa yang didasarkan pada saat orang memiliki pilihan dan disengaja. Untuk doa yang terlompat begitu saja dari mulut tanpa sengaja dan terencana, ijabah atas hajat yang terucap hampir-hampir tidak meleset dan tidak tertunda,” Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam, Indonesia, Daru Ihyail Kutub Al-Arabiyah, juz I, halaman 75.Penjelasan Syekh Syarqawi ini jelas bahwa doa pasti dikabulkan tetapi dalam tempo yang tidak bisa ditentukan dan dalam bentuk yang tidak bisa kita pastikan. Bisa jadi kita menunggu-tunggu pengabulan doa dan hajat kita, padahal Allah sudah kabulkan dalam bentuk yang lain. Ini juga yang kerap membuat kita berburuk sangka kepada samping itu, orang yang berdoa terbagi atas dua kondisi. Ada mereka yang sedang dalam kondisi lapang sehingga mereka berdoa dengan terencana. Tetapi ada orang yang bermunajat kepada Allah dalam kondisi darurat, terjepit, kepepet, sehingga mereka tidak lagi berdoa secara terencana. Mereka yang kepepet dan dalam kondisi darurat kerap diijabah Allah sesuai bentuk hajat yang mereka perlukan, yaitu mereka yang kelaparan, yang membutuhkan jaminan perlindungan dan keamanan, mereka yang membutuhkan hak hidup, mereka yang dalam kondisi sulit dan sempit lainnya. Doa atau munajat di sini bisa dalam bentuk ubudiyah semata penghambaan kepada Allah dan menganggap bahwa doa memang bagian dari ibadah. Tetapi ada juga mereka yang berdoa dan bermunajat kepada Allah karena spontanitas semata-mata lantaran kepepet dan tidak menemukan jalan lain yang memang tidak menganggap doa sebagai salah satu bentuk ibadah sebagaimana disinggung Syekh Zarruq Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 99. Wallahu alam. Alhafiz K
MenurutDr. Majdi al-Hilali, nafsu menuntut bagian-bagiannya dan lari dari kewajiban-kewajibannya. Tidak heran, cinta yang sudah didominasi oleh nafsu akan melenakan pelakunya. Kiat menunggu jodoh dengan bahagia 1. Membaca buku tentang pernikahan lebih baik dilakukan sekadarnya saja bila memang belum siap untuk menikah Ibnu Athaillah

TAKDIR JODOH – Jodoh adalah salah satu misteri yang selalu dipertanyakan oleh umat manusia. Dan jika seseorang bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang lain. Maka akan terciptalah berbagai jawaban yang berbeda dari mereka. Misalnya saja jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang belum mempunyai tambatan hati. Mungkin mereka akan menjawab tentang jodoh dengan kriteria sempurna. Misalnya jodoh yang tampan, mapan, dan shaleh/shalihah, punya beberapa hafalan, mempunyai keturunan atau nasab yang baik. Dan banyak lagi yang lahir dari angannya. Berbeda lagi jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang sudah mempunyai seseorang redpacar, tambatan hati. Mereka menjawabnya akan lebih condong kepada karakter seseorang yang diyakini mereka akan menjadi pendampingnya kelak. Mereka tidak peduli lagi akan kelebihan dan kekurangan yang sebelumnya dimiliki oleh tambatan hatinya itu, yang jelas seperti dia. Jawaban ini juga akan berbeda lagi jika kamu menanyakan tentang jodoh kepada seseorang yang sudah menikah atau bahkan mempunyai momongan. Mereka akan menjawabnya dengan sangat sederhana, seperti yang penting seorang muslim, shalih/shalihah, serta mampu berperan dalam keluarga. Seperti itulah jawaban-jawaban yang akan muncul jika kita bertanya tentang jodoh. Beragam jawaban akan muncul dan tentunya itu tergantung dengan persepsi masing-masing orang yang dipunyai. Mereka hanya berusaha memberikan jawaban secara subjektif sesuai dengan apa yang mereka tahu. Berbicara tentang Jodoh, bagaimana cara pandang Islam dalam mengungkapkan rahasia di dalamnya? Apakah Jodoh merupakan takdir yang telah digariskan? Tetapi kenapa Rasulullah juga memberikan kita pilihan untuk memilih jodoh yang kita inginkan? Kenapa begitu banyak nasehat yang menyarankan agar kita lebih berhati-hati dalam memilih calon pendamping kita? Dikarenakan hal itu pula, masih banyak manusia yang khawatir tentang jodohnya. Malah banyak yang dikarenakan hal tersebut malah memilih jalan setan seperti pacaran sebagai bentuk “ikhtiar” tentang jodoh. Padahal hal tersebut benar-benar salah. Dilain pihak, ada yang menghindari hal tersebut. Namun sangat sedikit upaya dalam ber”ikhtiar” yang benar sehingga pada umur yang semakin bertambah, dia tidak kunjung mendapatkan jodoh. Kenapa hal ini terjadi? Sebenarnya jodoh itu pilihan atau takdir sih? Padahal sesungguhnya Allah telah membocorkan persoalan tentang jodoh ini kepada kita melalui ayatnya Al-Qur’an Surat An Nur ayat 26 yang berbunyi Artinya Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang .baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. Qs. An Nur26 Jika melihat dari potongan ayat Al-Qur’an diatas dapat dikatakan bahwa Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Sedangkan laki-laki yang tidak baik juga untuk wanita yang tidak baik. Sungguh merupakan sebuah rahasia yang sebenarnya sudah lama terungkap jika kita mau mengkaji agama kita lebih dalam. Karena dengan hal tersebut sesungguhnya kita sekarang dapat meyakini, memahami, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalam ayat tersebut. Bagaimana? Tidak sulit bukan jika kita ingin memahami jodoh dari kacamata kita sebagai seorang muslim. Di dalam agama Islam, jodoh itu berarti seseorang yang telah tertulis namanya di Lauh Mahfuz bahkan jauh sebelum kita manusia diciptakan ke dunia dimana dia akan ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup kita di dunia ini. Namun bukannya kita tidak bisa memilih tentang jodoh karena yang tertulis di Lauh Mahfudz itu merupakan banyak pilihan jalan. Dan itu sebenarnya merupaka hasil dari sikap dan akhlaq kita dalam menanggapi kehidupan yang sementara ini. Jadi jodoh merupakan hal telah tertulis di Lauh Mahfudz,namun kita bisa memilih dengan siapakah kita akan nanti berjodoh. Tentunya pengaruh ahklaq dan sikap kita di dunia akan menentukannya. Seperti soal rejeki yang dimana hasilnya adalah merupakan faktor dari setiap usaha, ikhtiar, dan doa kita kepada Allah. Begitu juga dampak dari rezeki tersebut dimana itu juga terpengaruh dari jalan kita dalam memilih apakah rezeki yang kita ambil merupakan rezeki halal atau haram. Jadi apakah kamu masih bingung dalam memilih atau mendapatkan jodoh? Karena sesungguhnya jodoh yang akan datang kepadamu merupakan hasil dari setiap doa dan usaha kamu. Jika ingin mendapatkan jodoh yang membawa kamu kepada kebahagiaan dan keberkahan dari Allah, maka dapatkanlah dia dengan berusaha dulu mendapatkan cinta Allah. Rahasia Memilih Jodoh Dalam Islam Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersabda bahwa, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” HR Bukhari dan Muslim. Dikatakan disini bahwa seorang laki-laki muslim dalam memilih seorang wanita yang baik untuk dijadikan istrinya aka nada 4 faktor yang harus diperhatikan. Yaitu Agama, martabat, harta, dan kecantikan. Dan ketahuilah bahwa Rasulullah mengharuskan kita untuk memilih agama dan kualitasnya terlebih dahulu, Baru tiga faktor yang lain bisa menyusul. Begitu pula dengan pihak wanita. Wanita dalam menerima pinangan laki-laki atau memilih calon pemimpin keluarganya kelak juga harus memperhatikan hal diatas. Ketaqwaan calon pria yang ingin menikahinya harus menjadi pilihan utama. Dan tentunya sebenarnya seseorang yang datang kepadamu untuk menikahi kamu atau seseorang yang akan kau nikahi merupakan cerminan daripada kamu itu sendiri. Jadi jika kamu ingin mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada seseorang yang telah datang kepadamu, kamu bisa ikhtiar dengan mengubah setiap akhlaq untuk lebih baik dan berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan pasangan yang baik agamanya. Yang sanggup membimbing kita kepada surga Allah. Hubungan Jodoh dan Cerai Mungkin akan banyak yang berpikir, jika seseorang yang kita nikahi, lama mendampingi kita, merupakan cerminan dari diri kita sendiri, dan bisa katakana dia adalah jodoh kita. Kenapa ada banyak orang di dunia ini yang akhirnya memutuskan untuk bercerai atau berpisah? Dari sini kita kembali kepada yang namanya takdir. Bahwa sebenarnya di Lauh Mahfudz kita telah dituliskan banyak pilihan tentang jalan hidup apa yang akan kita jalani. Itulah hak manusia yang kita miliki. Yaitu kita mempunyai kewajiban dalam “memilih” tentang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam hidup kita. Tentunya setiap pilihan tersebut sebenarnya memang telah tertulis dan ada jalan sendiri-sendiri termasuk urusan jodoh. Rasulullah telah memberikan kita petunjuk dan juga nasihat untuk memilih pasangan hidup. Namun jika kita masih memilih pasangan hidup kita yang tidak sesuai dengan petunjuk tersebut, sesungguhnya kita sedang berlarut diri daripada nafsu dan ego. Maka dari itu jika pasangan hidup kita malah membawa kita menjauh diri dari Allah, jangan salahkan Allah yang telah menuliskan takdir. Karena semua itu sebenarnya sudah sesuai daripada apa yang telah kamu pilih sebelumnya. Apa dengan cara yang baik dan halal sesuai Islam atau dengan cara maksiat. Bukankah Allah sudah memperingatkan.. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan , atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan merasa benar dulu, belum tentu Allah meridhai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridhai yang baik-baik saja. Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun di balik kehendak-Nya tadi, tidak kah kita takut Allah berkata.. “Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi. Namun kau juga harus mempertanggung jawabkan semua ini di akhirat nanti” Jadi, kembali kepada diri masing-masing ya kawan dalam mendapatkan jodoh. Nah itulah Takdir Jodoh menurut pandangan Islam. Semoga tulisan ini dapat membuka mata hati kamu agar tidak galau lagi dan juga bersemangat menjemput pasangan dengan penuh keridloannya. Aamiin Waallahualam

BagaimanaIslam Dalam Menjemput Jodoh. Kita tentu sudah tahu bahwa tidak boleh ada pacaran sebelum nikah dalam islam (pacaran=mengenal+mencicipi), tetapi islam memberikan beberapa jalan dalam proses kita mencari pasangan hidup kita. Pantaslah bila Imam Ibnu Athaillah pernah berujar, ''Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis
JAKARTA - Allah memang menebarkan karunia dan nikmat kepada setiap hamba-Nya. Namun yang harus dimengerti, karunia dan nikmat lahir batin bukan saja melulu soal harta dan jodoh. Dalam kitab Al-Hikam, Ibnu Athaillah mengatakan “Mata razaqaka at-thaa’ata wal-ghina bihi anha, fa’lam annahu qad asbagha alaika ni’amahu zhaahiratan wa baathinatan." Yang artinya “Saat Allah menganugerahimu ketaatan dan engkau merasa cukup bersama-Nya dengan ketaatan itu, berarti Dia telah memberimu nikmat lahir dan batin." Dijelaskan, di saat Allah memberi seorang hamba rezeki kekuatan untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya secara lahir, maka seseorang itu tidak akan terlalu bergantung pada ketaatan itu dalam mendapatkan keinginannya. Melainkan hanya bergantung kepada Allah semata dan menyisihkan segala hal selain-Nya. Maka dengan begitu, seorang hamba harus mengetahui di saat itu Allah telah menganugerahkan segala karunia-Nya. Baik yang sifatnya berbentuk lahir seperti ketaatan, maupun yang sifatnya batin seperti makrifat yang mewajibkan seorang hamba mengabaikan dan tidak melihat selain-Nya. Khoiri Imam (2021) Uzlah perspektif Ibn 'Athaillah Al-Sakandari. Jurnal Penelitian ilmu Ushuluddun, 1 (3). ISSN 2774-8340 Lestari, Ambar Sri (2021) Implementasi MBS dalam rangka pemberdayaan sekolah. Managere, 3 (1). pp. 35-51. ISSN 2721-1053 Dalam kehidupan, tidak setiap harapan manusia dapat tercapai. Kadang berhasil, kadang gagal. Kadang sukses, kadang kurang beruntung. Umumnya orang akan kecewa bila harapan atau keinginannya tak tercapai. Tapi bagi seorang muslim, sebenarnya bagaimana sikap terbaik ketika harapannya tak tercapai? Kalam Hikmah Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiecenya, al-Hikam, menyatakan رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ Artinya, “Bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya; dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yang lain.” Menurut Imam Ibnu Athaillah, anugerah yang sebenarnya dan patut disyukuri adalah anugerah memeluk agama Islam sebagai nikmat yang sangat hakiki. Segala pemberian yang Allah berikan tidak ada yang dapat menandingi anugerah keislaman seseorang. Orang yang masih memeluk agama Islam berarti masih menikmati anugerah yang sangat besar dari Allah. Dengan kalam hikmah di atas, Imam Ibnu Athaillah seakan hendak menyampaikan, terkadang Allah memberikan sesuatu yang dianggap baik menurut pikiran manusia, namun tanpa disadari pemberian itu sebenarnya menghalangi dirinya dari taufiq dan hidayah untuk semakin dekat kepada-Nya. Apalah artinya terpenuhi semua harapan, sementara cahaya Islam dan iman di hati justru padam? Namun, yang sering terjadi adalah manusia sulit memahami hakikat anugerah yang diberikan Allah. Ketika harapannya tidak sesuai kenyataan, betapa banyak manusia yang sering menyalahkan takdir, seolah Allah tidak adil kepadanya. Padahal, jika mau memahami, semestinya ia akan sadar bahwa semua anugerah yang telah Allah berikan maupun yang Allah halangi darinya merupakan kebaikan yang hakiki baginya. Imam Ibnu Athaillah melanjutkan kalam hikmahnya مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ Artinya, “Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang pecegahan-Nya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah menjadi anugerah yang sebenarnya.” Penjelasan Ibnu Ajibah Syekh Ibnu Ajibah dalam kitabnya Îqâdhul Himam mengibaratkan pemberian Allah kepada manusia dengan orang yang diundang ke suatu jamuan makanan di tempat gelap tanpa lampu. Makanan yang tersedia sangat banyak, namun bisakah saat itu ia mengetahui makanan mana yang akan diambil dan yang akan dimakan? Begitulah pemberian Allah kepada manusia, ketika diberi kecukupan di satu sisi, ia akan selalu merasa kekurangan di sisi lainnya. Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam Syarhu Matnil Hikam, [Bairut, Darul Ma’rifah 2000], halaman 97. Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas terkonfirmasi oleh ayat Al-Qur’an وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ Artinya, “Boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian; dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” QS al-Baqarah216 Karenanya, orang-orang pilihan yang telah mencapai derajat ma’rifat billâh, sering merasa takut ketika ia menerima anugerah Allah. Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا Artinya, “Orang-orang ârifbillâh lebih takut ketika diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Terpenuhinya semua harapan merupakan kebahagiaan dan seakan menjadi nikmat yang sangat besar. Namun, semua itu justru menakutkan bagi orang-orang ârifbillâh. Kenapa demikian? Sebab, bagi mereka dalam keadaan sempit orang yang dekat kepada Allah akan lebih tenang dan lebih tentram menjalankan semua perintah-Nya. Sedangkan dalam keadaan semua keinginan terpenuhi, orang akan berpotensi sombong dan tidak bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Dalam menyikapi kelapangan dan kesempitan hidup, Syekh Ibnu Ajibah mengatakan اَلْبَسْطُ تَأْخُذُ النَّفْسُ مِنْهُ حَظَّهَا بِوُجُوْدِ الْفَرْحِ، وَالْقَبْضُ لَاحَظَّ لِلنَّفْسِ فِيْهِ Artinya, “Dalam kelapangan hidup, nafsu manusia ikut ambil bagian menikmatinya, sebab adanya rasa gembira; sedangkan dalam kondisi sempit, nafsu manusia tidak ikut ambil bagian merasakannya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 97. Begitulah kelapangan, ia bisa menjadi faktor yang menumbuhkan kecenderungan nafsu untuk melupakan Allah yang memberikan anugerah. Orang yang lapang cenderung memanjakan dirinya dengan segala sesuatu yang diinginkan. Sikap memanjakan diri inilah yang terkadang menjadi penyebab orang lalai. Seolah, saat demikian kewajiban agama menjadi beban dan ibadah pun dilakukan dengan hati gundah tidak ikhlas. Berbeda ketika dalam kondisi sempit atau kesusahan. Banyak hal yang tertahan dan tidak bisa didapatkan. Kondisi penuh keterbatasan menjadikan manusia tidak dapat memanjakan dirinya. Karenanya, tidak ada godaan untuk lalai memanjakan diri dan kewajiban agama pun dapat ditunaikan tanpa beban. Bagaimana mungkin bisa memanjakan diri, sedangkan ia dalam keadaan yang kurang? Dalam kesempatan lain Syekh Ibnu Ajibah mengibaratkan manusia seperti anak kecil yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa, yang menginginkan manisan atau permen beracun. Ia berkata فَكُلَّمَا بَطَشَ الصَّبِيُّ لِذَلِكَ الطَّعَامِ رَدَّهُ أَبُوْهُ، فَالصَّبِي يَبْكِي عَلَيْهِ لِعَدَمِ عِلْمِهِ، وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ Artinya, “Ketika Si Anak mengambil makanan beracun, Sang Ayah menolaknya; maka Si Anak menangisinya karena ketidaktahuannya, sedangkan Sang Ayah menolaknya secara paksa karena tahu ada racunnya.” Ibnu Ajibah, Îqâdhul Himam, halaman 100. Begitulah gambaran hubungan manusia dengan Allah swt berkaitan dengan anugerah dan harapan. Manusia tak ubahnya seperti anak kecil yang masih lugu dan sangat polos, sementara Allah menghalangi berbagai harapan dan keinginannya karena bahaya yang tidak diketahuinya. Penilaian akhir yang paling baik dalam hidup adalah ketika sesuai dengan kehendak-Nya. Sangat mungkin, segala anggapan baik yang manusia wacanakan, justru merupakan keburukan yang tidak Allah inginkan. Tidak ada hal yang lebih baik atas semua kejadian yang menimpa manusia melainkan dengan mempelajari dan menggali hikmah demi meraih keridhaan-Nya. Sebab setiap ketentuan Allah selalu beriringan dengan kebijaksanaan-Nya. Syair Imam al-Bushiri Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah yang kemudian dijelaskan secara panjang lebar oleh Syekh Ibnu Ajibah di atas selaras dengan syair Imam al-Bushiri dalam al-Burdah كَمْ حَسَّنَتْ لَذَّةً لِلْمَرْءِ قَاتِلَةً *** مِنْ حَيْثُ لَمْ يَدْرِ أَنَّ السَّمَّ فِى الدَّسَمِ Artinya, “Betapa banyak kenikmatan justru berujung pada kematian, karena orang tidak menyadari bahaya racun yang terkandung di dalamnya.” Wallâhu a’lam. Sunnatullah, Pengajar di Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan.
AlQuran dan hadits sudah jelas menyebut dosa besar yang harus dijauhi oleh bukan hanya pemeluk Islam, tetapi juga non-Muslim. Pasalnya, dosa besar merupakan pelanggaran hukum dan kejahatan yang sejalan dengan common sense, nalar umum.Allah menyediakan sanksi keras bagi para pelaku dosa besar.
The hustle and bustle of the modern era, marked by an easy life, is relatively only able to provide physical pleasure, but is unable to provide physical and spiritual happiness. The phenomenon of life that is not balanced with this level of happiness, causes a void. The purpose of this study was to determine the meaning and ways of obtaining happiness according to Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, as well as its relevance to human life in the modern era. This research is a qualitative research that uses a library research approach. The analytical method used is a content analysis technique. The conclusion of this study, shows that the happiness referred to by Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari divided happiness in two dimensions, namely happiness in the World and happiness in the hereafter. Happiness actually exists in human. Happiness will be realized when humans are able to optimize the potential of the mind and the potential of the heart. The path to happiness can be attained by knowing the characteristics of the wordly life and suffering and reducing pleasures. Moral perfections will lead humans to true happiness, namely meeting Allah SWT in a state of faith. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 180 Kebahagiaan Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Ade Anang Suhada1, Muliadi2, Dodo Widarda3 1,2,3 Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia adeanangsuhada98 muliadi1 dodowidarda Abstract The hustle and bustle of the modern era, marked by an easy life, is relatively only able to provide physical pleasure, but is unable to provide physical and spiritual happiness. The phenomenon of life that is not balanced with this level of happiness, causes a void. The purpose of this study was to determine the meaning and ways of obtaining happiness according to Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, as well as its relevance to human life in the modern era. This research is a qualitative research that uses a library research approach. The analytical method used is a content analysis technique. The conclusion of this study, shows that the happiness referred to by Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari divided happiness in two dimensions, namely happiness in the World and happiness in the hereafter. Happiness actually exists in human. Happiness will be realized when humans are able to optimize the potential of the mind and the potential of the heart. The path to happiness can be attained by knowing the characteristics of the wordly life and suffering and reducing pleasures. Moral perfections will lead humans to true happiness, namely meeting Allah SWT in a state of faith. Keywords Happiness, Heart potential, Library research, Mind potential, Morals. Abstrak Ingar-bingar yang terjadi di era modern, ditandai dengan kehidupan yang serba mudah, relatif hanya mampu memberikan kesenangan lahiriah semata, namun tidak mampu memberikan kebahagiaan jasmani dan rohani. Fenomena kehidupan yang tidak seimbang dengan tingkat kebahagiaan ini, menyebabkan suatu kehampaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan cara memperoleh kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, serta relevansinya dengan kehidupan manusia di era modern. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 181 menggunakan pendekatan studi pustaka library research. Metode analisis yang digunakan merupakan teknik analisis konten content analysis. Hasil dan pembahasan penelitian ini, menunjukan bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari merujuk pada kebahagiaan dua dimensi, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Kebahagiaan tersebut sejatinya telah ada di dalam diri manusia. Kebahagiaan akan terwujud ketika manusia mampu mengoptimalkan potensi akal dan potensi hati. Jalan untuk memperoleh kebahagiaan bisa diraih dengan mengenal karakteristik kehidupan dunia serta menekan dan mengurangi berbagai kesenangan. Kesempurnaan akhlak akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki, yaitu berjumpa dengan Allah SWT dalam keadaan iman. Kata kunci Akhlak, Kebahagiaan, Potensi akal, Potensi hati, Studi pustaka. Pendahuluan Manusia tidak terlepas dari berbagai macam persoalan dan problematika kehidupan. Tidak hanya itu, kehidupan manusia pun selalu diwarnai dengan berbagai macam keinginan dan harapan. Harapan terbesar manusia adalah kebahagiaan Hamim, 2016. Keanekaragaman manusia, serta dinamika kehidupan yang berbeda-beda menjadi salah satu faktor perbedaan makna kebahagiaan. Bagi sebagian orang, harta kekayaan adalah suatu kebahagiaan, sebagian lainnya beranggapan bahwa karir dan jabatan adalah kebahagiaan, bahkan terhindar dari berbagai macam masalah sekalipun adalah kebahagiaan. Jika kehidupan tidak seimbang dengan tingkat kebahagiaan, kehidupan manusia akan berdampak pada kehampaan Iman Setiadi Arif, 2018. Abad ke-21 ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi yang semakin cepat dan serba memadai. Namun, hal tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan manusia dalam tercapainya kebahagiaan. Di zaman modern, banyak manusia yang dilanda kegelisahan, kecemasan, stress, dan berbagai macam penyakit kejiwaan Tamami, 2011. Orientasi terhadap materi dan keduniaan, tampaknya hanya menambah beban dan menyebabkan disorientasi terhadap makna kebahagiaan itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Sayyed Hossein Nasr, bahwa manusia modern tengah mengalami kehampaan spiritual, krisis makna, dan mengalami keterasingan, hal tersebut menyebabkan manusia modern kehilangan harapan akan kebahagiaan di masa depan seperti yang dijanjikan oleh renaisans, pencerahan, saintisme serta teknologisme Haidar Bagir, 2006. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 182 Di saat materialisme menguasai kehidupan manusia, telah terjadi redefinisi terhadap ukuran kebahagiaan. Hal ini ditandai dengan bunuh dirinya seorang aktor terkenal peraih Oscar, Robin William. Komponen-komponen yang selama ini dianggap sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesan, seperti kekayaan dan kekuasaan, perlu untuk diartikan secara lebih mendasar Muskinul Fuad, 2018. Terdapat banyak penelitian terdahulu yang membahas kebahagiaan, baik dari sudut pandang tasawuf maupun filsafat. Penelitian tersebut antara lain, penelitian yang dilakukan oleh Ida Rodiah 2017 yang berjudul “Konsep Kebahagiaan Menurut Hamka.” Esensi penelitian tersebut adalah kebahagiaan bisa diperoleh melalui empat hal, yaitu iman dengan sebenar-benarnya, agama, keinginan yang bersih, dan mempunyai keyakinan Ida Rodiah, 2017. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Jarman Arroisi 2019 yang berjudul “Bahagia dalam Perspektif al-Ghazali” yang diterbitkan dalam Kalimah Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran Islam Universitas Darussalam Gontor. Jarman Arroisi 2019 menjelaskan, kebahagiaan merupakan suatu perasaan yang timbul dalam jiwa seseorang melalui perjuangan bersunguh-sungguh. Jalan untuk menempuhnya ialah makrifat an-nafs dan puncaknya ialah makrifat Allah. Kebahagiaan ini akan dirasakan setelah mencapai kesempurnaan jiwa rasionalnya. Jiwa rasional tersebut akan seimbang dengan cara menjaga amalan-amalan baik ketika di dunia. Kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan jiwa natural yang diperoleh melalui riyadhoh dan mujahadah dan bukan terletak pada materi Jarman Arroisi, 2019. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Endrika Widdia Putri 2018 dengan judul “Konsep Kebahagiaan Menurut al-Farabi” yang dimuat dalam Jurnal Tsaqafiyyat UIN Sunan Kalijaga. Penelitian ini menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan kebaikan untuk kebaikan itu sendiri dan merupakan tujuan akhir dari segala aktivitas di muka bumi. Orang yang hendak mencapai kebahagiaan, terlebih dahulu harus memperbaiki akhlaknya. Semakin baik akhlak seseorang, maka jalan kebahagiaan akan semakin dekat Putri, 2018. Kebahagiaan bukanlah suatu hal yang baru, melainkan sudah ada sejak zaman dahulu, dan telah mengalami berbagai macam perubahan konsep Putri, 2018. Salah satu tokoh yang membahas kebahagiaan ialah Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Dalam pandangannya, kebahagiaan selalu erat kaitannya dengan suasana dan kondisi hati manusia. Semakin baik manusia dalam mengelola hatinya, maka kebahagiaan pun menjadi semakin tinggi. Artinya kebahagiaan sejatiya terletak di dalam diri manusia itu sendiri. Syeikh Ibnu Atha’illah mengaitkan kebahagiaan dengan kehidupan, kehidupan ini diibaratkan sebagai tempatnya berbagai macam penderitaan. Sehingga manusia tidak perlu berasumsi bahwa dunia adalah tempat berbagai macam kesenangan, karena hal tersebut dapat memutus antara hubungan hamba dengan Allah SWT. Orang yang bahagia adalah Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 183 orang yang menjadikan dunia sebagai ladang dan bekal untuk kehidupan akhirat Ibnu Athaillah as-Sakandari, 2013. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Buya Hamka, bahwasannya kebahagiaan terletak pada diri manusia itu sendiri, akan tetapi tidak sedikit manusia yang meganggap kebahagiaan terletak pada kekayaan, harta, jabatan, dan kehidupan yang mewah. Alhasil, kebahagiaan sulit untuk didapatkan Arrasyid, 2020. Sudah menjadi fitrah manusia akan terpenuhinya segala kebutuhan fisik dan materi. Namun, kebahagiaan tidak hanya terbatas dalam terpenuhinya segala kebutuhan fisik melainkan ada kebahagiaan yang paling penting yaitu kebahagiaan rohani, kepuasan dan ketenteraman hati. Haidar Bagir dalam salah satu karyanya mengatakan untuk mewujudkan kebahagiaan manusia perlu menekan kebutuhan dan mengurangi keinginan yang belum tentu tercapai Bagir, 2015. Dengan itu, terpenuhinya kebutuhan akan menjadi semakin berkurang, demikian juga dengan ketidakbahagiaan. Setiap tokoh mempunyai cara tersendiri dalam mendefinisikan kebahagiaan tergantung dari sudut pandang mana dan kondisi apa mereka menilai. Syeikh Ibnu Atha’illah melalui untaian hikmah di dalam kitab Al-Hikam, sudah tidak diragukan lagi akan kepiawaiannya dalam membahas kebahagiaan secara universal. Sehingga peneliti berusaha membahas konsep kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui makna dan cara memperoleh kebahagiaan menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, serta relevansinya dengan kehidupan manusia di era modern. Diharapkan penelitian ini bisa memberikan sumbangsih pada khazanah ilmu pengetahuan, khususnya pada jurusan Tasawuf dan Psikoterapi. Serta menambah wawasan pada mahasiswa dalam memandang kehidupan dan mendefinisikan kebahagiaan. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme dan digunakan untuk meneliti obyek alamiah. Hasil penelitiannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik, akan tetapi melalui pengumpulan data, analisis, dan interpretasi Albi Anggito, 2018. Berbeda halnya dengan penelitian kuantitatif yang dalam pengambilan datanya selalu menggunakan bilangan angka. Hal ini berlandaskan pada filsafat positivisme yang memandang gejala, fenomena, serta realitas sebagai sesuatu yang konkret, terukur, teramati, dan dapat diklasifikasikan. Sehingga data yang dikumpulkan menggunakan instrumen penelitian, dan analisis data yang bersifat statistik Sugiyono, 2017. Sumber utama dalam penelitian ini adalah kitab al-Hikam dan beberapa karya dari Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Selain itu, berbagai data dan informasi seperti karya Imam Ghazali, Muhammad Said Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 184 Ramadhan al-Buthi, Hamka, dan yang lainnya dijadikan sebagai sumber data sekunder. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka library research. Analisis yang digunakan merupakan teknik analisis konten content analysis. Teknik ini digunakan untuk menyimpulkan konsep atau kata yang ada di dalam teks atau rangkaian teks Gusti Yasser Arafat, 2018. Selain itu, teknik ini dapat digunakan untuk menganalisis informasi baik tertulis, audio, dan visual. Seperti artikel, surat kabar, radio dan televisi Afifudin, 2012. Pertama-tama peneliti mengumpulkan berbagai data dan informasi dari sumber literatur, baik primer maupun sekunder Darmalaksana, 2020. Setelah tersaji, peneliti mengambil data-data yang sesuai untuk mempermudah penarikan sebuah kesimpulan. Hasil dan Pembahasan 1. Biografi Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari lahir di Iskandariyah, Mesir. Sebuah kota yang berada di pesisir perserikatan republik Arab. Beliau lahir pada pertengahan abad ke-7 H./ ke-13 M. dan wafat pada tahun 709 H./ 1309 M. Syeikh Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Husein Atha’illah as-Sakandari adalah nama lengkapnya. Abd al-Karim merupakan nama kakeknya yang dikenal sebagai ahli fikih pada masanya, sedangkan ayahnya bernama Muhammad Ibn Abd al-Karim merupakan pengikut setia dari Syeikh Abu Hasan asy-Syadzili. Sejak kecil, Syeikh Ibnu Atha’illah sudah mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan terutama pemikiran-pemikiran dari Imam Malik. Perjalanan keilmuannya diawali dengan mempelajari ilmu al-Quran, tafsir, fikih, ilmu tata bahasa, serta teologi Asyariyah kepada para Syeikh di Mesir Danner, 1999. Kecerdasan yang dimiliki oleh Syeikh Ibnu Atha’illah mampu menyita perhatian para ulama pada masa itu dan membandingkannya dengan sang kakek yang sangat terkenal dalam bidang fikih. Pada awalnya, Syeikh Ibnu Atha’illah tidak menempuh jalan sufi seperti yang dilakukan oleh ayahnya. Namun, gencarnya gerakan sufisme pada saat itu, sangat berpengaruh terhadap spiritual beliau di masa mendatang. Sebagai ahli fikih yang terkenal, Syeikh Ibnu Atha’illah mempunyai pandangan yang jauh berbeda dengan para sufi, bahkan beliau berperan sebagai tokoh antagonis. Syeikh Ibnu Atha’illah sering beradu argumen dengan murid dari Syeikh Abul Abbas al-Mursy tokoh tarekat Syadziliyyah pada masa itu, bahkan beliau pernah mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dicari selain hukum syariat Danner, 1999. Pada awal tahun 674 H./ 1276 M., Syeikh Ibnu Atha’illah pergi menemui salah seorang guru untuk mendiskusikan berbagai aspek keislaman yang berbeda. Di sanalah Syeikh Ibnu Atha’illah bertemu Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 185 dengan Syeikh Abul Abbas al-Mursy. Tahun tersebut menjadi tahun yang sangat berpengaruh dan menjadi awal perubahan kehidupan beliau. Meskipun Syeikh Ibnu Atha’illah telah menempuh jalan tarekat, akan tetapi tidak membuatnya berhenti mempelajari ilmu hukum fikih. Syeikh Abul Abbas al-Mursy memprediksi bahwa Syeikh Ibnu Atha’illah akan menjadi ulama besar yang faqih dan zahid. Perkataan Syeikh Abul Abbas al-Mursy menjadi kenyataan, hal ini dapat dilihat dari gelar yang disandangnya. Syeikh Ibnu Atha’illah adalah seorang imam yang diberi gelar “mahkota agama” tajuddin, karena beliau mampu menghimpun serta memadukan kaidah-kaidah ilmu syariah dengan prinsip penyucian hati Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, 2020. Transformasi Syeikh Ibnu Atha’illah dari seorang fakih menjadi seorang guru sufi tidak mudah untuk diketahui. Nama beliau masih terkenal sebagai seorang ulama syariah yang sangat terkemuka. Akan tetapi, beliau mampu mengejawantahkan syariah dengan hakikat. Esensi pengejawantahan tersebut adalah sebagai upaya membebaskan manusia dari berbagai belenggu hawa nafsu dan keduniaan serta mampu mengangkat derajat manusia di hadapan Allah SWT Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, 2020. Akhir masa hidupnya beliau curahkan sebagai pengajar hukum-hukum madzhab Maliki di Universitas al-Azhar dan madrasah-madrasah yang berada di sekitar al-Manshuriyah. Di antara muridnya yang terkenal ialah Syeikh Syihabuddin Ibn Maylaq w. 749 H./ 1349 M., dan Syeikh Taqiyyuddin as-Subki w. 756 H./ 1355 M.. Syeikh Ibnu Atha’illah juga berperan sebagai Syeikh tarekat Syadziliyah yang cukup produktif dalam menuangkan buah pemikirannya dalam bentuk tulisan. Sehingga beliau menjadi guru pertama tarekat Syadziliyah yang menggunakan pena dan kertas sebagai media dalam menyebarkan dan mengklarifikasikan ajaran-ajaran tarekat Syadziliyah. Salah satu karyanya yang sangat terkenal ialah al-Hikam. Kitab al-Hikam merupakan magnum opus yang di dalamnya berisikan aforisme-aforisme yang menyejukan dan menggugah hati serta menjadi pijakan dasar doktrin sufi. Kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis sewaktu Syeikh Abul Abbas al-Mursy masih hidup. Selain itu beliau juga menulis kitab Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, at-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, Lathaif fi Manaqib Abi al-Abbas al-Mursy wa Syeikh Abi Hasan, Taj al-Arus al-Hawi li Tahdzib an-Nufus dan beberapa tulisan lainnya yang ditulis dalam bentuk risalah yakni uraian singkat dan padat Mudin, 2016. Tulisan-tulisan di atas dianggap sebagai karya yang perenial pada dunia Islam, khususnya di kalangan umat mendatang. Meskipun Syeikh Ibnu Atha’illah telah wafat pada tahun 709 H./ 1309 M., akan tetapi corak dan otoritas karyanya selalu menarik perhatian para salik di seluruh belahan dunia Danner, 1999. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 186 2. Kebahagiaan Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari Kebahagiaan dilihat dari berbagai sudut pandang, masih belum mencapai titik final. Para filosof seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan Epicurus memandang bahwa kebahagiaan adalah puncak pencapaian tertinggi. Dimana, kebahagiaan yang dimaksudkan tidak hanya terbatas pada penilaian subjektif semata, seperti kegembiraan dan kesenangan, akan tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia meliputi sosial, moral, emosional dan spiritual Bertens, 2015. Kebahagiaan dalam bahasa Inggris disebut dengan happy, sedangkan dalam al-Quran kebahagiaan disebut dengan istilah sa’adah, falah, najat dan najah Hamim, 2016. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI bahagia diartikan dengan suatu keadaan, perasaan senang dan tenteram Dendi Sugono, 2008. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memandang bahwa kebahagiaan adalah kondisi hati manusia yang selalu taat dan patuh dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2003. Kebahagiaan yang dimaksud merujuk pada kebahagiaan dua dimensi, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Karakteristik orang yang bahagia, selalu tercermin dari kondisi dan situasi hati. Kondisi hati sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan, karena hati merupakan sumber dari kebahagiaan dan penderitaan Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Konsep kebahagiaan tidak hanya terfokus pada kebahagiaan dunia, akan tetapi dibahas pula konsep kebahagiaan di akhirat, sama halnya dengan yang disampaikan oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Dunia merupakan tempat yang amat berpengaruh dalam tercapainya kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari menyampaikan, ada dua tipe manusia dalam menyikapi dunia. Kedua tipe ini sangat berpengaruh terhadap kebahagiaan yang hendak dicapai manusia. Pertama, manusia yang mengatur dunia untuk urusan dunia. Kedua, manusia yang mengatur urusan dunia untuk keperluan akhirat. Tipe manusia pertama, menggambarkan ketamakan manusia, yang senantiasa mengumpulkan harta demi kesenangan semata, tanpa memandang aspek kehalalan dan keharamannya. Tipe ini menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari tidak akan mengantarkan pada kebahagiaan, sebaliknya, sikap tersebut hanya akan mengantarkan manusia pada ketamakan dan kehancuran, karena tujuan utama yang ingin diperolehnya ialah memperkaya diri. Jika hartanya semakin bertambah, maka ia akan semakin terlena dan lupa kepada Allah SWT, sebaliknya jika hartanya hilang dan berkurang menyebabkan kesedihan yang luar biasa, seperti halnya realita yang ditemukan dalam kehidupan ini. Ikhtiar dalam mencari urusan dunia merupakan esensi dari tipe manusia yang kedua. Orang yang mengurus urusan dunia untuk keperluan akhirat dan ibadahnya, tidak dilandasi tujuan untuk menimbun harta dan menguasai dunia. Hal tersebut Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 187 dilakukannya semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keridaannya. Manusia tipe kedua ini sangat memahami, bahwa dunia adalah ujian dan fitnah besar. Ia jadikan dunia sebagai media untuk memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan di akhirat Ibnu Atha’illah As-Sakandari, 2013. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah dituangkan dalam berbagai tulisan yang bisa kita temukan dalam karya-karyanya. Kitab al-Hikam merupakan salah satu kitab yang ditulis oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Di dalamnya terdapat banyak aforisme yang menggugah dan menyejukan hati. Konsep kebahagiaan pun disajikan lewat aforismenya di dalam kitab al-Hikam, dan beberapa karya yang lainnya. Konsep kebahagiaan yang pertama, dijelaskan dalam hikmah ke-24, yang berbunyi  Artinya Janganlah engkau merasa heran dengan banyaknya kekeruhan yang dijumpai selama masih hidup di dunia. Sebab dunia ini adalah tempat untuk menampakan berbagai hal yang layak disifati dengan kekeruhan, dan hal-hal yang seharusnya digambarkan demikian Ashim Ibrahim al-Kayyali, 2018, p. 47. Hikmah di atas berkaitan dengan karakteristik kehidupan. Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia terbagi ke dalam dua aspek penting yaitu aspek duniawi dan aspek ukhrowi. Kedua aspek ini sangat dibutuhkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Keseimbangan antara keduanya menjadi tolak ukur untuk mencapai kehidupan yang harmonis serta tercukupinya kebutuhan jasmani dan rohani. Pada kenyataannya, masyarakat Islam pada khususnya masih belum mampu merealisasikan kedua aspek tersebut karena ketidakpahaman akan hakikat kehidupan itu sendiri M. Ma’ruf, 2019. Hikmah Syeikh Ibnu Atha’illah ini, menjelaskan bahwa kelaziman dari karakteristik dunia adalah tempat berbagai kesulitan dan penderitaan. Hikmah ini senada dengan apa yang dikakatakan oleh Ja’far ash-Shadiq bahwa barang siapa yang mencari sesuatu yang belum pernah diciptakannya, sama saja dengan menyiksa diri sendiri karena tidak akan pernah mendapatkannya. Lalu, ditanyakan apa yang tidak akan pernah didapatkannya itu? Ja’far ash-Shadiq menjawab, “kenyamanan di dunia” Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Hikmah ini menegaskan sebuah kenyataan bahwa kenikmatan dunia seringkali bercampur dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang bersifat intimidasi. Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah, Allah menakdirkan dunia dengan sifat dan kondisi seperti itu, setidaknya terdapat dua hikmah yang terkandung di dalamnya. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 188 Pertama, Allah menjadikan dunia ini sebagai tempat ujian dan medan yang penuh dengan beban, adalah untuk menginformasikan kembali tujuan diciptakannya manusia. Urgensi dari penciptaan manusia dalam segala aspek kehidupan ini adalah untuk mempraktikan bukti penghambaannya kepada Allah SWT. Baik dilakukan dengan cara patuh terhadap segala perintahnya, hukum-hukumya, maupun dengan cara tunduk terhadap segala kekuasannya. Ketika manusia berasumsi bahwa kehidupan ini hanya berisi dengan kenikmatan dan kebahagiaan, terhindar dari kekeruhan dan beban penderitaan, maka dengan cara apa manusia akan merespon penghambaannya kepada Allah SWT. Padahal, bentuk dan cara penghambaan manusia kepada Allah selalu bersifat pilihan Al-Buthi, 2020. Manusia adalah makhluk yang mempunyai beban kewajiban. Praktik penghambaan manusia adalah buah dari pembebanan taklif tersebut. Tidak dikatakan pembebanan jika dalam prosesnya tidak ada kesulitan dan beban yang ditanggungnya. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kitabnya al-Hikam al-Atha’iyyah mengatakan, jika perjalanan kehidupan hanya sekadar kehidupan yang datar dan monoton, dengan dibaluti oleh kenikmatan dan kebahagiaan semata, itu merupakan sebuah kontradiksi Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Karena letak pembebanan seorang hamba menjadi tidak tampak. Buah dari pembebanan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah adalah kesabaran dan rasa bersyukur. Dengan kedua beban inilah manusia mempraktikan penghambaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT, yang berbunyi  Artinya Kamu benar-benar akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan kamu benar-benar akan mendengar banyak hal yang menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, sesungguhnya yang demikian itu adalah urusan yang diutamakan QS. Ali-Imraan 186. Kedua, kehidupan dunia hanya kehidupan sementara dan dibatasi dengan ujian. Alur kehidupan tidak selamanya bersifat nikmat dan senang. Tetapi selalu diiringi dengan berbagai kesulitan dan kekeruhan. Ujian yang diterima manusia sewaktu di dunia adalah untuk memperoleh reward atau balasan menghadapi kehidupan akhirat. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Abd Al-Qadir Abu al-Faris, bahwa kehidupan di dunia adalah medan segala bentuk ujian dan akhirat adalah tempat memperoleh Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 189 balasan Lilik Ummi Kultsum, 2018. Kehidupan dunia hanya membuat manusia terlena dan lupa akan balasan terbesar Allah SWT, berupa kebahagiaan di akhirat. Dalam pandangan Syeikh Ibnu Atha’illah, kehidupan dan manusia mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan tersebut dibangun atas dasar kasih sayang dan kelemahlembutan. Kehidupan dunia adalah titipan dari Allah SWT, artinya manusia harus menyayangi kehidupan ini atas dasar kasih sayang-Nya. Tidak menjadikan kehidupan dunia terus melekat pada hatinya, dan tidak mempunyai rasa penyesalan ketika meninggalkannya Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Selama menjalani kehidupan, manusia tidak akan terlepas dari urusan-urusan dunia. Syeikh Ibnu Atha’illah menyebutnya dengan al-aghyar Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Bahkan, manusia dituntut untuk senantiasa berkecimpung di dalamnya. Menjadikan kehidupan dunia sebagai ladang untuk meraih dan menggapi rida-Nya, merupakan kewajiban manusia. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali, kebahagiaan dunia adalah jalan untuk bisa merasakan kebahagiaan di akhirat, karenanya menjadi kewajiban manusia untuk mengenali dunia, ilmu-ilmu dunia, dan karakteristik yang ada di dalamnya. Perilaku menjauhi dan tidak mengenal dunia sama saja dengan menjauhkan manusia dari kebahagiaan hidup di dunia Rusfian Effendi, 2017. Syeikh Ibnu Atha’illah tidak menyarankan manusia untuk lari meninggalkan kehidupan dunia. Hanya saja, kehidupan manusia jangan sampai menjadikan manusia tunduk pada keinginan-keinginan hawa nafsu yang sementara. Para ulama menyebutnya dengan istilah al-Khalwah fi al-Jilah. Maksud dari istilah tersebut, menurut Syeikh Ibnu Atha’illah bukan khalwat dalam arti menyendiri dan meninggalkan keramaian dunia dan masyarakat sekitar. Tetapi, khalwat yang disyariatkan dan dicintai-Nya ialah terjun langsung dalam kehidupan dunia tetapi tidak hanyut dan tidak terlena. Artinya manusia harus menjadi pemeran utama dalam mengatur dan mengendalikan kehidupan dunia, bukan manusia yang dikendalikan oleh kehidupan dunia. Lari dari berbagai urusan dan kekeruhan dunia, tidak termasuk solusi. Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah perilaku tersebut mencerminkan orang yang tidak tahu akan hakikat kehidupan dunia. Kekeruhan dan segala urusan bisa memutuskan hubungan baik antara sesama manusia, bahkan memutuskan hubungan manusia dengan Allah SWT, bahkan diri manusia sendiri pun termasuk urusan dan kekeruhan dunia. Kekeruhan yang dimaksud oleh Syeikh Ibnu Atha’illah tidak hanya sebatas materi semata, termasuk kekeruhan yang bersifat immateri. Ketidaktahuan akan hakikat ini, mampu mendorong manusia untuk lari dari kenyataan, bahkan manusia mengatakan “aku akan lari dan membebaskan diri dari kekeruhan dan urusan ini, lalu akan menyendiri Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 190 dan menyepi ditengah-tengah sunyi” Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, 2020. Kesadaran dan pengetahuan manusia begitu dibutuhkan dalam menghadapi kenyataan hidup. Dengan demikian, manusia akan mampu menerima berbagai kondisi, baik senang maupun susah. Ia akan menjalaninya dengan penuh keihklasan dan kedamaian. Orang yang memahami realitas kehidupan di dunia ini, akan terus merasakan ketenangan baik ketika mendapatkan kenikmatatan maupun ketika dilanda kekeruhan termasuk kesengsaraan dan kesedihan. Karena itulah hakikat dan karakter dari kehidupan dunia. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang kedua, terdapat dalam hikmah yang ke-228, yang berbunyi  Artinya Tatkala berkurang apa yang membuatmu senang, maka berkurang pula apa yang membuatmu bersedih Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018, p. 339. Hikmah di atas secara fundamental mengajarkan bahwa kebahagiaan sangatlah mudah untuk dicapai. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan dua kata yang saling kontradiksi. Namun menurut hikmah di atas, kedua kata tersebut mempunyai pengaruh dan bobot yang sama. Ketika kebahagiaan disimpan dalam bentuk sesuatu dan terlampau besar, maka potensi kesedihan pun akan semakin besar. Sebaliknya, jika kebahagiaan yang disimpan terhadap sesuatu itu sedikit, maka potensi kesedihan pun juga sedikit. Hubungan tersebut mempunyai sebab akibat yang setimpal, meskipun keduanya saling berlawanan Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Upaya mengurangi harta dan sebab yang lainnya, merupakan langkah dalam mengurangi kesedihan. Sikap seperti ini merupakan cerminan orang yang telah sempurna akalnya dan pandangannya. Orang seperti ini tidak hanya mengambil maslahat berupa kebahagiaan dari sesuatu yang keberadaannya hanya sementara, sehingga terhindarnya dari kerusakan akibat kesedihan adalah kebahagiaan. Seperti perkataan orang yang bijak bahwa “menghindari kerusakan lebih utama daripada mencari kemaslahatan,” termasuk mengurangi kesenangan demi berkurangnya kesedihan. Oleh karena itu, Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari memberikan jalan agar manusia senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan. Sikap merasa tidak cukup atas segala kebutuhan hidup, akan membuat manusia sibuk dan lalai terhadap kewajibannya, sehingga Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 191 tindakan seperti itu akan menjadikannya berlebihan thugyan terutama dalam masalah harta benda. Seperti sabda Nabi Muhammad Saw yang berbunyi “sesuatu yang sedikit dan cukup lebih baik dan utama daripada sesuatu yang banyak tetapi melalaikan” HR. Abu Ya’la dan adh-Dhiya. Di dalam hikmah sebelumnya, Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari berkata  Artinya Di antara bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan Allah kepadamu ialah memberi kecukupan terhadap segala kebutuhan dan menghindarkan dari sesuatu yang menyebabkan kecelakaan atasmu Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018, p. 338. Mengetahui kesempurnaan nikmat yang telah diberikan-Nya, akan mendorong manusia untuk selalu merasa cukup atas apa yang telah diberikan-Nya. Dengan kata lain, manusia akan selalu bahagia atas nikmat dan kecukupan yang diperolehnya. Keyakinan terhadap karunia yang telah Allah tentukan dan pasti diberikan, akan menjadikan manusia sibuk dengan perintah Allah dari pada mengurus apa yang sudah dijamin-Nya. Dengan demikian, Allah akan mengangkat derajatnya, mencukupkan segala kebutuhannya, dan menyempurnakan cahaya ilahi-Nya makrifat Ibnu Atha’illah al-Sakandari, 2013. Dengan bermakrifat kepada Allah SWT, manusia akan sampai pada derajat kebahagiaan yang hakiki. 3. Korelasi Kebahagiaan dengan Akhlak Menurut Syeikh Ibnu Atha’illah, akhlak bisa mengantarkan manusia menjangkau dirinya sendiri, karenanya manusia harus menyadari bahwa ia mempunyai tujuan hidup. Akhlak yang dimaksud tidak hanya terbatas pada aspek lahiriyah yang sifatnya horizontal, akan tetapi juga menyangkut akhlak bathiniyyah yang bersifat vertikal. Akhlak merupakan sifat terdidik yang dimiliki oleh manusia serta mampu mengantarkannya menjadi manusia yang paripurna. Selain itu, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pendidikan akhlak yang mulia akan mengantarkan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia maupun di akhirat Alimudin & Darifah, 2018. Manusia merupakan makhluk yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan. Manusia dibekali akal sebagai sarana untuk mengetahui dan hati sebagai tempat berkumpulnya emosi dan perasaan. Faktor inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk ciptaan yang lainnya. Manusia akan mencapai derajat kemanusiannya ketika kedua potensi ini telah teraktualisasikan, dengan demikian manusia akan merasakan kebahagiaan. Akal dan hati seyogianya harus bersinergi dalam menghasilkan moral atau etika. Moral atau etika seperti inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan. Demikianlah korelasi antara Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 192 moral dengan kebahagiaan yang dikonsepsikan oleh Aristoteles Hasib, 2019. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hati mempunyai perilaku yang beragam. Sebagian perilaku disebut dengan budi pekerti buruk akhlaq as-su’, dan sebagian lagi disebut dengan budi pekerti baik akhlaq al-hasanah. Budi pekerti yang baik mengantarkan manusia mencapai derajat kebahagiaan yang hakiki. Sedangkan, budi pekerti yang buruk menyebabkan manusia mengalami kehancuran dan penderitaan Abu Hamid al-Ghazali, 2020. Perbedaan antara orang yang bahagia dengan orang yang menderita dijelaskan dalam salah satu firman-Nya yang berbunyi Artinya Tidaklah sama antara penghuni neraka dengan penghuni surga, penghuni-penghuni surgalah yang memperoleh kemenangan” QS. Al-Hasyr 20. Berdasarkan ayat di atas, Syeikh Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang sangat jauh antara orang yang memperoleh kebahagiaan dengan orang yang memperoleh penderitaan. Orang bahagia dalam pandangan Syeikh Ibnu Atha’illah adalah orang yang hatinya bersinar. Pengejawantahan hati yang selalu bersinar akan tampak ketika manusia melihat suatu kemaksiatan. Ia akan menolak, mengingkari, serta berusaha untuk mengajak pada kebaikan dan memohonkan ampunan. Sebaliknya, sikap orang yang menderita senantiasa menyudutkan dan mencela para pelaku maksiat. Dalam hatinya telah tertanam rasa benci, sehingga membuatnya melakukan hal yang tidak terpuji, seperti mencela, memfitnah bahkan melaknatnya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2003. Selain itu, Syeikh Ibnu Atha’illah juga menjelaskan bahwa orang bahagia senantiasa menjaga kesucian diri, tidak mendzalimi orang lain, serta menjaga rahasia, aib, dan memelihara harga diri orang lain. Dengan demikian orang tersebut akan mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan. Orang yang mampu menahan diri untuk tidak mendzalimi orang lain dari pagi hingga menjelang petang, menurut Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari adalah orang yang mendapatkan kebahagiaan. Jika mampu menahan kedzaliman terhadap diri sendiri dan terhadap perintah-perintah Allah, maka orang tersebut telah mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Puncak dari kesempurnaan kebahagiaan itu ditandai dengan berjumpa dengan Allah dalam keadaan iman. Orang yang mendzalimi Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 193 orang lain sama halnya dengan membuat kesedihan untuk akhirat Ibnu Athaillah as-Sakandari, 2003. 4. Urgensi Konsep Kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah di Era Modern Tolak ukur kebahagiaan di era modern seperti sekarang ini, bisa dilihat dari seberapa banyak penguasaan terhadap materi. Hal ini bisa dilihat dari gaya hidup yang cenderung hedonis dan materialistik Maryam Ismail, 2019. Tujuan utama pola hidup yang seperti ini tiada lain adalah untuk mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan semata. Pada umumnya, kebahagiaan dilihat dari seberapa kaya, sukses, dan bisa menikmati berbagai kesenangan. Tidak heran, banyak manusia yang terpesona untuk memiliki salah satu bahkan ketiganya sekaligus. Harta kekayaan dan kesenangan berpotensi menurunkan kebahagiaan serta menjadi sumber penderitaan dan kejenuhan Jalaluddin Rakhmat, 2009. Kehidupan manusia modern yang menyuguhkan kehidupan materi dan individualistik, tidak memberikan rasa nyaman dan bahagia. Sebaliknya, angka kriminalitas yang semakin tinggi sebagai cerminan dari krisis moral yang terjadi Dewi, 2017. Melihat realita seperti di atas, konsep kebahagiaan yang disuguhkan oleh Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari begitu penting untuk diterapkan saat ini. Orientasi kebahagiaan yang diletakkan dalam bentuk kesenangan seperti uang, jabatan, serta kebutuhan ekonomi yang tercukupi, pada kenyataannya belum mampu memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Salah satu contoh seperti yang terjadi di negara-negara Barat, kebahagiaan semakin menurun seiring dengan pertumbuhan perekonomian yang semakin cepat Jalaluddin Rakhmat, 2009. Pergeseran paradigma mengenai kebahagiaan, lagi-lagi tidak terlepas dari asumsi yang mengatakan bahwa uang dan pendapatan merupakan sumber kebahagiaan. Tidak heran, hal ini masih menjadi perdebatan di semua kalangan, termasuk ekonom dan psikolog. Hal menarik dari perdebatan ini ialah timbulnya sebuah istilah yang dinamakan dengan “paradoks Easterlin” atau konsep titik jenuh yang digagas oleh Easterlin 1974. Pada awalnya, pendapatan seseorang berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaan, dengan logika semakin besar pendapatan semakin terpenuhinya segala kebutuhan. Akan tetapi, pada akhirnya relasi tersebut akan sampai pada sebuah titik yang dinamakan dengan titik jenuh. Lonjakan ekonomi yang terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika, Eropa, Jepang, selama beberapa tahun terakhir tidak diiringi dengan peningkatan kebahagiaan masyarakat di negara tersebut Muskinul Fuad, 2018. Di era modern, kesuksesan yang tidak sejalan dengan kebahagiaan tidak lagi menjadi sebuah pengecualian anomali, akan tetapi sudah menjadi sesuatu yang normal dan sering terjadi. Hilangnya energi Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 194 kehidupan serta timbulnya rasa sedih di tengah kehidupan yang tampak bahagia, sering disebut dengan istilah dysthymia Jalaluddin Rakhmat, 2009. Gejala lain yang mencerminkan kehidupan di era modern ialah gangguan kecemasan, para psikolog menyebutnya dengan istilah anxiety disorder. Fenomena seperti ini, menurut Bastaman merupakan representasi dari kehidupan manusia di zaman modern, sehingga abad ini disebut dengan abad kecemasan the age of anxiety. Akibatnya, terjadilah krisis multi dimensi yang meliputi perekonomian, politik, sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat dunia. Tidak heran banyak manusia yang mengalami penderitaan, karena kegagalannya dalam menggapai kehidupan dan kebahagiaan Muskinul Fuad, 2018. Melihat realita seperti ini, Syeikh Ibnu Atha’illah melalui konsep kebahagiaannya yang sederhana, mengajarkan kepada kita supaya tidak menaruh kebahagiaan pada sesuatu yang sifatnya sementara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebahagiaan bukanlah kesenangan dan kenikmatan semata, tidak sedikit orang yang dipenuhi dengan berbagai kenikmatan tetapi dia tidak merasakan kebahagiaan. Dengan mengenal sifat dunia dan karakteristiknya, seyogianya manusia tidak terlalu berambisi dalam segala hal. Esensi kebahagiaan itu sendiri terletak dalam hati manusia, karena itu Syeikh Ibnu Atha’illah mengajarkan kepada kita supaya menjaga hati agar tidak terlena terhadap sesuatu yang memikat tetapi pada akhirnya menjemukan Ibnu Atha’illah as-Sakandari, 2018. Memperbaiki akhlak begitu penting untuk dilakukan, sebagai upaya timbulnya rasa nyaman, dengan demikian kebahagiaan akan mudah didapatkan Putri, 2018. Kesimpulan Syeikh Ibnu Atha’illah merupakan seorang sufi yang sangat faqih. Beliau mampu memadukan ilmu-ilmu syariat dan ilmu-ilmu hakikat. Kata Syeikh disematkan pada nama Ibnu Atha’illah as-Sakandari sebagai penghormatan akan kebesaran nama beliau. Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari melalui hikmah-hikmah yang terkandung di dalam kitab al-Hikam, dan kitab-kitab yang lainnya, menginformasikan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia perlu mengolah hati dan memperbaiki akhlak, baik akhlak terhadap sesama manusia maupun akhlak terhadap Allah SWT. Selain itu, Syeikh Ibnu Atha’illah mengharuskan manusia agar mengetahui kesempurnaan nikmat yang telah diberikan Allah SWT, sebagai upaya agar manusia tetap bersyukur dan bersabar atas apa yang dimilikinya. Konsep kebahagiaan Syeikh Ibnu Atha’illah sangat relevan dengan kehidupan manusia di era modern ini, konsep yang sederhana namun mampu memberikan rasa nyaman, tenteram, dan mengantarkan kepada kebahagiaan yang sejati. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, terkhusus bagi penulis umumnya bagi khalayak Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 195 umum yang masih bingung dan terus mencari makna kebahagiaan. Juga diharapkan menjadi referensi dan pembanding dalam menjalani kehidupan dan tercapainya tujuan hidup yang bermakna. Dalam menjalani rangkaian penelitian, peneliti dihadapkan dengan beberapa keterbatasan, antara lain kajian ini hanya menggunakan kitab Syarh al-Hikam sebagai rujukan utama dikarenakan peneliti tidak memperoleh kitab asli yaitu Matan al-Hikam, serta keterbatasan referensi dari kitab-kitab karangan Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang sudah jarang beredar sehingga peneliti kesulitan untuk menghimpun karya-karya beliau. Keterbatasan ini peneliti paparkan sebagai ruang penyempurnaan bagi peneliti selanjutnya agar studi yang dilakukan bisa lebih baik. Semoga penulis dan pembaca mendapat rida dan keberkahan dari Allah SWT. Daftar Pustaka Abu Hamid al-Ghazali. 2020. Kimiya al-Sa’adah Mustofa Bisri ed.; Cetakan 1. Jakarta PT Qaf Media Kreativa. Afifudin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi Anggito, J. S. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif E. D. Lestari ed.; Cetakan 1. Sukabumi CV Jejak. Arrasyid, A. 2020. Konsep Kebahagiaan dalam Tasawuf Modern Hamka. Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam, 192, 205–220. Ashim Ibrahim al-Kayyali. 2018. Al-Lathaif al-Ilahiyyah fi Syarh Mukhtarat min al-Hikam al-Atha’iyyah M. Tatam Wijaya ed.; Cetakan 1. Jakarta PT Qaf Media Kreativa. Bagir, H. 2015. Risalah Cinta dan Kebahagiaan II. Bandung Mizan. Bertens, K. 2015. Etika Cetakan 3. Bandung Kanisius. Danner, V. 1999. Mistisisme Ibnu Atha’illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1. Risalah Gusti. Darmalaksana, W. 2020. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 1–6. Dendi Sugono, D. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Dewi, E. 2017. Konstruksi Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan Spritual. Substantia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19, 133–148. Gusti Yasser Arafat. 2018. Membongkar Isi Pesan dan Media dengan Content Analysis. Jurnal Al-Hadharah, 1733, 32–48. Haidar Bagir. 2006. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung Mizan. Hamim, K. 2016. Kebahagiaan dalam Perspektif Al-Qur’an dan Filsafat. Tasâmuh, 132, 127-150. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 196 Hasib, K. 2019. Manusia dan Kebahagiaan Pandangan Filsafat Yunani dan Respon Syed Muhammad Naquib al-Attas. TASHFIYAH Jurnal Pemikiran Islam, 351, 21–40. Ibnu Atha’illah al-Sakandari. 2013. Bahjat al-Nufus F. F. Bahreisy ed.; Cetakan 1. Jakarta Zaman. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2003. Bahjah Al-Nufus C. R. B. A. Cecep Alba ed.; Cetakan 1. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2013. At-Tanwir Fii Isqaati at-Tadbir Misbah El-Majid ed.; Cetakan 1. Surabaya Pustaka Hikmah Perdana. Ibnu Atha’illah as-Sakandari. 2018. Syarh al-Hikam Ibnu ath-Thaillah as-Sakandari Imam Firdaus ed.; Cetakan 3. Bandung Wali Pustaka. Ibnu Athaillah as-Sakandari. 2003. Menjaga Kesucian Kalbu C. R. B. A. Cecep Alba ed.; Cetakan 1. Bandung Remaja Rosdakarya. Ibnu Athaillah as-Sakandari. 2013. At-Tanwir fi Isqaati at-Tadbir M. El-Majid ed.; Cetakan 1. Surabaya Pustaka Hikmah Perdana. Ida Rodiah. 2017. Konsep Kebahagiaan Menurut Hamka. UIN Sunan Gunung Djati. Iman Setiadi Arif. 2018. Psikologi Positif Pendekatan Saintifik Menuju Kebahagiaan Cetakan 2. Bandung PT Gramedia Pustaka Utama. Jalaluddin Rakhmat. 2009. Meraih Kebahagiaan. Simbiosa Rekatama Media. Jarman Arroisi. 2019. Bahagia dalam Perspektif Al-Ghazali. Jurnal Studi Agama-Agama Dan Pemikiran Islam, 1701. Lilik Ummi Kultsum. 2018. Cobaan Hidup dalam Al-Quran Studi Ayat-Ayat Fitnah dengan Aplikasi Metode Tafsir Tematik. Ilmu Ushuluddin, 52, 107–138. Ma’ruf, M. 2019. Konsep Mewujudkan Keseimbangan Hidup Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Al-Makrifat, 42. Maryam Ismail. 2019. Hedonisme dan Pola Hidup Islam. Jurnal Ilmiah Islamic Resources FAI-UMI Makassar, 162, 193–204. Mudin, M. I. 2016. Konsep Makrifat Ibnu Athaillah al-Sakandari. Kalimah Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam, 142, 156–172. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. 2020. Al-Hikam al-Athaiyyah Syarah al-Hikam Ibnu ath-Thaillah as-Sakandari A. U. Abdurrahman Jufri, Hadiri Abdurrazaq ed.; Cetakan 1. Tangerang Pustaka IIMaN. Muskinul Fuad. 2018. Psikologi Kebahagiaan dalam Al-Quran Cetakan 1. Yogyakarta Lontar Mediatama. Putri, E. W. 2018. Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif Al-Farabi. THAQAFIYYAT Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam, 191, 95-111. Rusfian Effendi. 2017. Filsafat Kebahagiaan Plato, Aristoteles, Al-Ghazali, Al-Farabi cetakan 1. Yogyakarta Deeppublish. Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin Vol. 2 No. 1 Januari 2022 180-197 DOI 197 Slamet, I. 2018. Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari dalam Kitabnya al-Hikam. Studi Pendidikan Islam, 181. Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods. Bandung CV Alfabeta. Tamami. 2011. Psikologi Tasawuf. Bandung Pustaka Setia. ... They will bear them sincerely and amicably. Individuals who understand the reality of life in this world will stay calm in the face of delights or hardships and sorrow Suhada et al., 2021. ...Maryam IsmailHedonisme merupakan sebuah pandangan hidup yang menyatakan kesenangan untuk menikmati segalanya adalah tujuan hidup manusia di dunia ini. Kondisi hedonisme banyak ditemukan bukan hanya pada pelajar, dan anak-anak muda atau mahasiswa, nampaknya sudah menyeluruh dalam berbagai kalangan masyarakat. Awalnya hanya kebanyakan dari orang-orang berduit yang selalu memperhatikan penampilan luar dan menikmati hidup ini dengan sepuasnya, bergaul, makan, jalan-jalan, bersenang-senang, berpoya-poya akhirnya sudah menular kepada yang lain meskipun dalam kondisi hidup kekurangan. Pandangan Hedonisme muncul sebagai jawaban dari pertanyaan Socrates tentang tujuan hidup adalah mencari kenikmatan dan kesenangan, tetapi bukan berarti rakus dan memiliki harta sebanyak-banyaknya. Paham ini perlu diwaspadai, karena bisa merusak gaya hidup seseorang dengan menghalalkan segala cara untuk kenikmatan dan kesenangan saja. Sementara kebahagiaan dalam ajaran Islam bukan hanya mengejar kebahagiaan dan kenikmatan lahir yang sesaat, tetapi kebahagiaan adalah keseimbangan lahir dan batin yang dapat dinikmati dunia dan akhirat setelah berhasil mendapatkan ridha Allah Swt. Di dunia yang lebih penting beramal saleh dengan jalan memperbaiki hubungan dengan Allah Swt dan kepada sesama manusia serta seluruh ArrasyidHappiness is an eternal concept that will always keep being up to date which means the concept of happiness will never be ended for discussion. Starting from ancient times, people today, and people in the future always want the same thing as happiness. The concept of happiness is not something new for both the world of Sufism and philosophy, therefore the concept of happiness experiences the dynamic development of the concept. Hamka is one of the scholars in Indonesia who discusses the concept of happiness, but Hamka has its own characteristics in explaining happiness. According to Hamka, happiness actually exists in every human being, happiness can be achieved from inside, not from outside, happiness that comes from outside of ourself is only as a complement to happiness inside, happiness can be achieved if humans always hone and develop tools which can be used to achieve happiness and these tools are religion, reason, and mind. These three things have a relationship with each other, if humans are able to develop these three things then humans can achieve happiness in their lives. In achieving happiness, these three things can be applied by using several methods namely zuhud, sincere, qana’ah and tawakal. The background of this research will explain the concept of happiness in the modern mysticism of Hamka. This research is a library research, and to make it more functional and useful, this paper will be equipped by a description method, interpretation and analysis of data in detail for each problem raised, therefore it can obtain a comprehensive Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi AnggitoAfifudinAfifudin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung CV Pustaka Setia. Albi Anggito, J. S. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif E. D. Lestari ed.;Risalah Cinta dan Kebahagiaan IIH BagirBagir, H. 2015. Risalah Cinta dan Kebahagiaan II. Bandung Mizan. Bertens, K. 2015. Etika Cetakan 3. Bandung Ibnu Atha'illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1V DannerDanner, V. 1999. Mistisisme Ibnu Atha'illah Wacana Sufistik Kajian Kitab al-Hikam cetakan 1. Risalah Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi LapanganW DarmalaksanaDarmalaksana, W. 2020. Metode Penelitian Kualitatif Studi Pustaka dan Studi Lapangan. Pre-Print Digital Library UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan NasionalD Dendi SugonoDendi Sugono, D. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan SpritualE DewiDewi, E. 2017. Konstruksi Kebahagiaan dalam Bingkai Kecerdasan Spritual. Substantia Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 19, 133-148. Isi Pesan dan Media dengan Content AnalysisGusti Yasser Arafat. 2018. Membongkar Isi Pesan dan Media dengan Content Analysis. Jurnal Al-Hadharah, 1733, 32-48.
KarenanyaSyekh Ibnu Athaillah mengangkat hikmah, ‘Kemauan keras tak bisa menerobos pagar takdir’ Kemauan (himmah) adalah kekuatan hati yang tergugah dalam menuntut sesuatu dan memikirkannya. Bila sesuatu itu mulia, yaitu makrifatullah dan pengharapan atas ridha-Nya, maka kemauan itu disebut himmah ‘aliyah.
Home Tausyiah Jum'at, 04 Desember 2020 - 1738 WIBloading... Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari 1250-1309 M, seorang ulama sufi terkemuka kelahiran Mesir. Foto ilustrasi/Ist A A A Guru adalah orang yang mengajar, mendidik, membimbing, melatih, menasihati. Ia menjadi contoh dan teladan yang wajib dipanuti seorang murid. Perannya sangat mulia hingga Allah menempatkan mereka di tempat terpuji. Baca Juga Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya hakikat guru dan perannya? Dalam perspektif Islam , guru sejati adalah mereka yang mengajarkan dan membimbing kita untuk dekat kepada Allah. Para ulama merupakan sosok guru yang dapat dipanuti. Sebab, ulama adalah orang yang mengetahui ilmu keislaman dan hanya takut kepada Allah. Menghormati ulama adalah kewajiban setiap muslim karena mereka adalah pewaris para Nabi . Baca Juga Ulama Adalah Guru yang Mempersatukan UmatImam Ibnu Atha'illah As-Sakandari 1250-1309 M, seorang ulama sufi terkemuka kelahiran Mesir menyampaikan 10 hakikat guru yang sebenarnya. Berikut kalamnyaليس شيخك من سمعت منهوإنما شيخك من أخذت عنهو ليس شيخك من واجهتك عبارته وإنما شيخك الذى سرت فيك إشارتهوليس شيخك من دعاك الى البابوإنما شيخك الذى رفع بينك وبينه الحجابوليس شيخك من واجهك مقالهوإنما شيخك الذى نهض بك حالهشيخك هو الذى أخرجك من سجن الهوى و دخل بك على المولىشيخك هو الذى مازال يجلو مرآة قلبك حتى تجلت فيها انوار ربكArtinya1. Guru sejati bukanlah orang yang engkau dengar ceramah-ceramah sebatas dari lisannya Tapi dia adalah seorang yang menjadi tempatmu di dalam mengambil hikmah dan Bukanlah guru sejati, seseorang yang hanya membimbingmu sekedar makna dari Tapi orang yang disebut guru sejati bagimu adalah orang yang isyarat-isyaratnya mampu menyusup dalam Dia bukan hanya seorang yang mengajakmu sampai ke Tapi yang disebut guru bagimu itu adalah orang yang bisa menyingkap hijab penutup antara dirimu dan Bukanlah gurumu, orang yang ucapan-ucapannya Tapi yang disebut guru bagimu adalah orang yang aura kearifannya dapat membuat jiwamu bangkit dan Gurumu yang sejati adalah yang membebaskan mu dari penjara hawa nafsu, lalu memasukanmu ke ruangan Tuhan-mu10. Guru sejati bagimu adalah orang yang senantiasa menjernihkan cermin hatimu, sehingga cahaya Tuhanmu dapat bersinar terang di dalam hatimu. Baca Juga Wallahu A'lamrhs imam ibnu athoillah ulama nasihat ulama guru kalam Artikel Terkini More 2 jam yang lalu 3 jam yang lalu 3 jam yang lalu 4 jam yang lalu 4 jam yang lalu 5 jam yang lalu HimpunanWasiat Agung Nabi Muhammad Saw., Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali ArticlePDF Available AbstractThis study is the branch of the big topic concerning Islamic counseling that is exclusively studied through Sufism approach. The Sufism concept of Ibn Athaillah in Kitab Al-Hikam is described in order to be an approach of Islamic counseling as the result of the harmonious combination between psychology and Sufism to actualize human mental health. The scope of this study is focused on the main problem namely how Sufism concept of Ibn Athaillah can be used as counseling approach. The method used in this study is literature review type qualitative approach. The primary data are collected from Kitab Al-Hikam by Ibn Athaillah As-Sakandari. The secondary data are collected from various supporting literatures concerning Sufistic counseling. Data are collected using documentation method. Then, the data are reduced and analyzed. The result of this study indicates that Sufism concept is always focused on heart and soul management in order to draw closer to Allah. This can be made to be one of approaches in Islamic counseling. Sufism concept of Ibn Athaillah stresses more on riyadhah al-qulub namely emphasis in the aspect of heart condition in guiding someone that wants to go to the path of goodness. The conclusion is that in conducting spiritual counseling, Sufism approach is relevant to be the basis and spiritual counseling method. Riyadhah al-qulub or emphasis on heart aspect is psychosufistic counseling based on Sufism concept of Ibn Athaillah As-Sakandari. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam Vol. 5, No. 1, Mei 2021 hal 43-62 p ISSN 2580-3638; e ISSN 2580-3646 DOI Konsep Tasawuf Ibnu Atha’illah al-Sakandari dan Relevansinya dengan Konseling Psikosufistik Muhammad Taufiq Firdaus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta taufiqfirdaus27 Abstract This study is the branch of the big topic concerning Islamic counseling that is exclusively studied through Sufism approach. The Sufism concept of Ibn Athaillah in Kitab Al-Hikam is described in order to be an approach of Islamic counseling as the result of the harmonious combination between psychology and Sufism to actualize human mental health. The scope of this study is focused on the main problem namely how Sufism concept of Ibn Athaillah can be used as counseling approach. The method used in this study is literature review type qualitative approach. The primary data are collected from Kitab Al-Hikam by Ibn Athaillah As-Sakandari. The secondary data are collected from various supporting literatures concerning Sufistic counseling. Data are collected using documentation method. Then, the data are reduced and analyzed. The result of this study indicates that Sufism concept is always focused on heart and soul management in order to draw closer to Allah. This can be made to be one of approaches in Islamic counseling. Sufism concept of Ibn Athaillah stresses more on riyadhah al-qulub namely emphasis in the aspect of heart condition in guiding someone that wants to go to the path of goodness. The conclusion is that in conducting spiritual counseling, Sufism approach is relevant to be the basis and spiritual counseling method. Riyadhah al-qulub or emphasis on heart aspect is psychosufistic counseling based on Sufism concept of Ibn Athaillah As-Sakandari. Keywords Ibnu Athaillah; Psychosufistic; Counseling Abstrak Penelitian ini sebagai turunan dari topik besar konseling islam yang secara khusus dikaji melalui pendekatan ilmu tasawuf. 44 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Mendeskripsikan Konsep tasawuf Ibn Athaillah dalam kitab al-hikam untuk dijadikan suatu pendekatan konseling islami sebagai hasil dari perpaduan yang harmoni antara psikologi dan tasawuf untuk mewujudkan kesehatan mental manusia. Lingkup penelitian ini difokuskan pada permasalahan utama yakni bagaimana konsep tasawuf Ibn Athaillah dapat digunakan sebagai pendekatan konseling. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis kajian pustaka, sumber data primer diperoleh dari Kitab Al-Hikam karya Ibn Athaillah As-Sakandari, data sekunder diperoleh dari berbagai literatur penunjang yang berkaitan dengan konseling sufistik. Pengumpulan data dengan metode dokumentasi, kemudian data tersebut di reduksi data dan analisi isi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep tasawuf Ibn Athaillah As-Sakanadari selalu terkonsentrasi pada pengelolaan hati dan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam konseling islami. Konsep tasawuf Ibn Athaillah lebih menekankan riyadah al-qulub yakni penekanan dalam aspek kondisi hati seperti ikhlas, ridha, sabar, tawadhu, tawakal, raja, khauf dan bersyukur untuk membimbing seseorang yang hendak menuju ke jalan kebaikan. Riyadah al-qulub merupakan metode konseling psikosufistik menurut konsep ilmu tasawuf Ibn Athaillah as-Sakandari. Maka dalam melakukan konseling islami, pendekatan ilmu tasawuf Ibn Athaillah dapat dijadikan sebagai basis dan metode konseling spiritual. Kata Kunci Ibnu Athaillah; psikosufistik; konseling Pendahuluan Konseling psikosufistik merupakan konseling yang hadir sebagai bentuk harmonisasi dari ilmu psikologi dan ilmu tasawuf dengan konsep yang menghasilkan konsep metode dan teknik konseling yang khas pula dalam pelaksanaannya dengan tujuan yang lebih spesifik, yakni dengan berdasarkan nilai-nilai tasawuf psikosufistik berbeda dan juga lebih khusus dari pada konseling pada umumnya, karena konseling psikosufistik khusus pada konseling yang islami berlandaskan tasawuf. Konseling psikosufistik dalam melakukan proses konseling menggunakan pendekatan berdasarkan pada pendekatan psikologi dan pendekatan tasawuf. Zamzami Sabiq, ―Konseling Sufistik Harmonisasi Psikologi Dan Tasawuf Dalam Mewujudkan Kesehatan Mental,‖ ’Anil Islam Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman 9, no. 2 December 31, 2016 328–352. Ahmad Fauzi, ―Psikosufistik Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah,‖ Jurnal Intelektual Jurnal Pendidikan dan Studi Keislaman 8, no. 2 August 1, 2018 229–240. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 45 Psikosufistik di artikan atau didefinisikan sebagai sebuah kajian tentang tingkah laku ataupun perbuatan manusia dengan konsep yang dibangun diatas ilmu tasawuf yang berlandaskan al-Quran dan psikosufistik lebih fokus mengembangkan potensi batin manusia ke arah kesadaran psikologis untuk senantiasa dekat dengan yang dikedepankan ialah citra dzawqiyah rasa serta penyucian diri tazkiyah al-nafs. Meskipun dalam hal ini masih banyak perdebatan dari pihak-pihak yang pro dan kontra. Pihak yang menolak dengan pengembangan konseling islami ialah mereka yang tidak sependapat dan tidak mengakui adanya ruang atau dimensi spiritualitas yang menjadi objek kajian utama dalam konsep bimbingan konseling islami. Adapun mereka yang pro dan selalu memerjuangkan konseling islami ialah para cendikiawan dan peneliti muslim, dari pengembangan konsep tersebut mereka memang benar menemukan hasil yang berbeda. Hal ini akan memperkuat pengembangan konsep konseling islami dalam dunia psikosufistik terhadap gangguan kesehatan mental yang di alami manusia modern adalah karena kekosongan spiritual. manusia modern menjalani kehidupan dengan pola hidup konsumtivisme. dan individualisme yang semakin menjadi-jadi di banyak dunia spritual yang di alami manusia modern mengakibatkan munculnya gangguan kejiwaan, seperti stres dan galau. Pada umumnya penyakit ini sulit disembuhkan melalui medis, maka tentunya penyakit batin hanya bisa disembuhkan melalui psikologisnya dengan metode rohaniah ataupun dengan pendekatan dan pengobatan Syukur menjelaskan bahwa ilmu tasawuf dapat digunakan sebagai pendekatan dan terapi untuk kesehatan mental yakni 1 secara psikologis kajian tasawuf yakni hasil dari suatu pengalaman spiritual maupun bentuk pengetahuan Ubaidillah Achmad, ―Teori Kehendak Manusia Perspektif Psiosufistik Al-Gazali,‖ Konseling Religi 6, no. 2 2015. Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistik Rasail, 2005. Abdul Mujib, ―Model Kepribadian Islammelalui Pendekatan Psikosufistik,‖ Nuansa 8, no. 1 2015. Muhamad Rifai Subhi, ―Development of Islamic Counseling Concept spiritual Issues in Counseling,‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam 13, no. 1 June 1, 2016 121–134. Ahmad Nurcholis, ―Peran Tasawuf Dalam Merekonstruksi Krisis Spiritualitas Manusia Modern,‖ Sosio Religi 2012. Heldi Heldi, ―Pola Konsumsi Masyarakat Post-Modern Suatu Telaah Perilaku Konsumtif Dalam Masyarakat Post-Modern,‖ Al-Iqtishad Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah 1, no. 1 7 Januari 2009, aiq. Alia Azmi, ―Individualisme Dan Liberalisme Dalam Sekularisme Media Amerika,‖ Humanus 12, no. 1 June 28, 2013 33–42. Muhammad Amin Syukur, ―Sufi Healing Terapi Dalam Literatur Tasawuf,‖ Walisongo Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 2 December 15, 2012 391–412. 46 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 mengenai keberadaan atau realitas ketuhanan yang cendrung menjadi indikator dalam agama. 2 merasakan kehadiran atau keberadaan Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis kemudian menimbulkan dan menjadikan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan dan pengalaman mistis tersebut seperti ma’rifat, ittihad, hulul, mahabbah, uns, hal-hal tersebut dapat menjadikan moral force bagi amal-amal saleh. 3 seseorang dalam menjalani hubungan dengan Allah dijalani atas rasa kecintaan, para pengamal sufistik Allah bukanlah suatu Dzat yang menakutkan, tetapi Allah adalah Dzat yang penyayang, pengasih, pemurah, sempurna, kekal, indah dan selalu hadir dimanpun dan kapanpun. Hasil dari hubungan hamba dengan Allah sebagai moral kontrol akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, kemudian menghindari dari penyipangan perbuatang yang tentang pemikiran tasawuf Ibn Attaillah Asakandari telah banyak dibahas dengan berbagai topik dan tema, pembahasan tersebut seputar konsep tasawuf Ibn Athaillah dan relevansi, kontribusinya dengan disiplin ilmu lainya seperti ilmu pendidikan dan ilmu psikologi. ada yang mencoba melihat pemikiran Ibn Athaillah di dalam kitab al Hikam suatu kajian tentang kontribusi nilai dan konsep tasawuf dalam pendidikan islam. Kemudian studi yang menggali corak tasawuf dalam al-Hikam Ibn Athaillah penerapan dan implikasinya terhadap pembentukan akhlak di pondok pesantren. Kemudian ada yang mengkaji dan membahas mengenai nilai pendidikan karakter dalam pemikiran Ibn Athaillah As-Sakandari. Selanjutnya pembahasan yang bertujuan menganalisa dan mendiskripsikan pemekiran pendidikan sufistik Ibn Athaillah dan relevansi dengan pendidikan karakter di Muhammad Nurdin, Muhammad Harir Muzakki, and Sutoyo Sutoyo, ―Relasi Guru Dan Murid Pemikiran Ibnu ‗Athaillah Dalam Tinjauan Kapitalisme Pendidikan,‖ Kodifikasia 9, no. 1 2015 121–146; Hanifah Fauziyyah, ―Konseling Sufistik Dalam Pembinaan Akhlak Siswa Studi Kasus Di Pondok Pesantren Al-Falah 2 Nagreg‖ 2019; Mucharor Mucharor, ―Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari‖ 2015. Azizah Aryati, ―Pemikiran Tasawuf Syeikh Ibn ‗Atoillah as-Sakandari Dalam Kitab Al Hikam Kajian Tentang Rekonstruksi Dan Kontribusi Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pendidikan Islam,‖ Manhaj Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat 6, no. 1 2017, accessed April 24, 2020, Muhammad Arifudin, ―Corak Tasawuf Kitab Hikam Karya Ibn ‗Athaillah As-Sakandari Dan Implikasinya Dalam Pembentukan Akhlak Di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik‖ masters, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018, accessed November 12, 2020, Azizah Aryati and Ismail Ismail, ―Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pemikiran Tasawwuf Ibnu Athoillah as-Sakandari‖ Presented at the International Seminar on Islamic Studies, IAIN Bengkulu, 2019, 76–83, accessed November 12, 2020, Achmad Beadie Busyroel Basyar, ―Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang pendidikan sufistik dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia Telaah Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 47 Ahmad Fauzi mengatakan dalam penelitiannya yang berjudul Psikosufistik pendidikan Islam dalam perspektif pemikiran syekh Ibn relevansi antara pendidikan karakter dengan ajaran tasawuf Ibn Attaillah ialah dalam hal penanaman nilai. Di dalam pendidikan karakter di indonesia penanamana nilai-nilai yang ditekankan adalah nilai agama, kebangsaan dan sosial masyarakat. Dalam sufistik Ibn Attaillah yang ditanamkan adalah nilai-nilai sufistik yang berorentasi kepada pribadi yang dekat dengan Allah swt. Pendidikan karakter tidak terlepas dari kajian psikologi dan mental seseorang. Keadaan psikologis yang baik dan mental yang baik akan melahirkan sebuah karakter yang baik. Kajian psikologis sangat erat kaitannya dengan kegiatan konseling. Akan tetapi Pembahasan mengenai konsep tasawuf Ibn Athaillah As-sakandari untuk dijadikan suatu konsep psikosufistik dalam konseling Islam belum banyak dikaji. Maka penelitian ini akan mengkaji konsep tasawuf Ibnu Athaillah dan relevansinya dengan konseling psikosufistik. sebuah proses bantuan terhadap seseorang yang mengalami kesulitan maupun mempunyai problem lahiriah maupun batiniah yang bertujuan untuk menyadarkan kembali eksistensinya sebagai hamba maupun makhluk Allah swt, yang seharusnya hidup sesuai dengan petunjuk dan ketentuan Allah hidup sesuai petunjuk dan ketentuan Allah swt, maka akan sangat mudah dalam mengatasi berbagai problem yang dihadapi dengan sikap dan mental yang kuat sesuai ajaran ini memfokuskan dua aspek; yaitu bagaimana konsep tasawuf Ibnu Athaillah dan bagaimana konsep tasawuf Ibnu Athaillah tersebut dapat menjadi basis konseling psikosufistik. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan library research yang membahas tentang konseling psikosufistik Ibn Athaillah As-Sakandari. Dengan tujuan untuk menggali lebih dalam pemikiran dan konsep tasawuf Ibn Athaillah As-Sakandari untuk diterapkan dalam konseling sufistik. Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan juga data sekunder. Sumber data primer yakni kitab Al-Hikam karya syekh Ibn Athaillah As-Sakanadari. Buku yang dimakud ialah Kitab Al-Hikam Petuah-petuah Agung Sang Guru buku terjemahan dari Al-Hikam diterjemah oleh Ismail Badillah. Sumber data sekunder diperoleh dari berbagai artikel jurnal maupun literatur penunjang lainya yang mengkaji Kitab al-Hikam al-Aṭāiyah‖ undergraduate, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2016, accessed November 13, 2020, Fauzi, ―Psikosufistik Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah.‖ Fahrul Hidayat, Arisatul Maulana, and Doni Darmawan, ―Komunikasi Terapeutik Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam,‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam 16, no. 2 2019 139–151. Asriyanti Rosmalina, ―Pendekatan Bimbingan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja,‖ Holistik 1, no. 1 2016. 48 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 dalam ruang lingkup konseling. Pengumpulan data dengan metode dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan mereduksi data dan analisi isi. Hasil dan Pembahasan Biografi Ibn Attaillah al-Sakandari Syekh Ahmad ibn Muhammad ibn Athaillah as-Sakandari seorang ulama besar yang Lahir di Iskandariyah Mesir tahun 648 H/1250 M, meninggal di kairo pada tahun 1309. Mulai dari kecil Ibn Athaillah dikenal haus dengan ilmu pengetahuan terutama ilmu agama, sehingga sangat gemar dalam menuntut ilmu agama. ia mempelajari dan mendalami ilmu dari beberapa syekh, gurunya yang paling dekat beliua adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-Hasan al-Syadzili, yang merupakan pendiri tarekat al-Syadzili. Ibn Athaillah adalah seorang ulama yang produktif, total ada dua puluh karya yang dihasilkannya, meliputi bidang tasawuf, akidah, ushul fiqih, nahwu, hadits, dan tafsir. Dari hasil karnya tersebut yang paling terkenal ialah kitab al-Hikam, karya kitab ini telah banyak di syarah oleh ulama-ulama berikutnya, antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim Ibnu Ibad ar-Rundi, dan Ahmad ibn Ajiba, syeikh Ahmad Athaillah merupkan seorang ulama yang dikenal karena kepribadiannya yang bersih, seorang tokoh yang di jadikan panutan dalam meniti jalan menuju Tuhan yaitu Allah swt. ulama yang mengajarkan keikhlasan, dan memberikan nasihat-nasehat agama yang begitu dalam. Ibn Athaillah dikenal sebagai guru ketiga dalam tarekat syadzili setelah pendiri-pendiri tarekat tersebut yakni Abu al-hasan asy-syadzili dan Abu al-Abbas al-Mursi. Meski dia dikenal sebagai syekh di sebuah tarekat, tetapi pengaruh intelektualnya tidak terbatas di terekatnya saja, tetapi karya-karya Ibn Athaillah di baca luas oleh kaum muslimin, bersifat lintas tarekat maupun mazhab terutama kitan al-Hikam ini karyanya yang cukup fenomenal. Pemikiran Ibn Athaillah As-Sakandari Pemikiran Ibn Athaillah mengenai timbulnya berbagai masalah dan problem kehidupan yang dialami oleh seorang individu sesuai dengan konsep tasawuf Ibn Attaillah yakni dikarenakan oleh penykit hati   penyakit hati ini akan menimbulkan beberapa perkara buruk dan akhlak tercela yang mengakibatkan jauh dari Allah swt. Beberapa perkara buruk menurut Ibn Attaillah yang harus dijauhi ialah Pertama, Menunda amal ibadah. Ibadah yang bersifat wajib harus dilakukan oleh setiap muslim, tidak ada alasan bagi seseorang muslim untuk Syaikh Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru, trans. Ismail Baadillah Jakarta Khatulistiwa Press, 2017. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 49 meninggalkan kewajiban beribadah tersebut selama ia tidak memiliki udzur yang dibenarkan oleh syari sehingga diperbolehkan dia untuk tidak melaksanakan kewajiban tersebut. konsekuensi jika meninggalkan ibadah tersebut akan mendapat murka Allah swt. Sesorang tidak meningalkan amal ibadah tetapi menunda-nundanya merupakan tanda tidak bersyukurnya seorang muslim kepada Allah swt dan termasuk kebodohan hati sebagaimana ucapan Ibn Ataillah. Menunda pelaksanaan ibadah untuk mencari waktu senggang adalah timbul dari kebodohan hati. Sifat menunda tersebut jika disebabkan oleh urusan dunia maka akan menimbulkan lupa akan kematian yang bisa menghampiri setiap saat, dan jika senang menunda amal ibadah akan menimbulkan lemahnya niat dan tujuan yang ingin di capai dari amal tersebut. hal tersebut akan berubahnya niat dan tujuan amal Suudzan kepada Allah swt. Berburuk sangka kepada Allah merupakan tanda tipisnya iman seseorang dan mengakibatkan dosa besar jika berburuk sangka terhadap Allah swt. Pada dasarnya seorang hamba harus menganggap semua pemberian Allah itu merupakan anugrah baik sesuatu tersebut baik maupun buruk, karena di balik kesusahan yang menimpa seorang hamba pasti tersimpan kebahagiaan seperti ucapan Ibn Ataillah.   Barangsiapa yang mengira lenyapnya kasih sayang Allah dari ketetapan Allah, maka yang seperti ini adalah karena dangkalnya pandangan keimanan. Seorang hamba hseharusnya melihat pemberian Allah swt menggunakan pandangan rohaniyah, dengan itu dia dapt merasakan hakikat dari pemberian Allah swt dan memunculkan sifat khusnudhan pada Allah swt. Akibat dari dangkalnya pandangan adalah, ia tidak mampu untuk menyaksikan adanya karunia Allah dalam setiap musibah yang ditakdirkan oleh-Nya. Dan semua ini bermuara pada lemahnya keimanan meremehkan amal. Perbuatan yang sepele terkadang malah mendatangkan pahala, keuntungan dan keutamaan yang besar jika di niatkan tulus karena Allah. Amal perbuatan yang berat dan memerlukan daya, upaya bahkan memerlukan biaya besar tidak menjamin kualitas amal mendapat pahala besar dan keuntungan jika niat dalam mengerjaknnya tidak tulus karena Allah Muhammad Luthfi Ghozali, Percikan Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho’illah As-Sakandari Kencana, 2011. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Ibid. 50 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 swt. Amalan yang diterima oleh Allah adalah, segala apa yang dilakukan hamba dengan didasarkan pada keyakinan bahwa amal itu terjadi karena taufiq dan hidayah dari Allah semata, kemudian dilaksanakan secara istiqomah. Ungkapan Ibn Ataillah tentang hal ini sebagai berikut.  Tidak ada amal yang lebih diharapkan memperoleh pahala, dari pada amal yang kamu lihat enteng, dan engkau anggap remeh keberadaaanya. Amalan yang diterima oleh Allah adalah, segala sesuatu yang dilakukan seorang hamba dengan didasarkan pada keyakinan bahwa amal itu dapat dikerjakan karena taufiq dan hidayah dari Allah semata. kemudian diikuti dengan sikap istiqomah dan tidak berbangga diri atasnya. Sebab, jika seseorang hamba merasa bangga dengan amalnya tersebut, maka amalan itu menjadi tidak bernilai dalam pandangan Allah sedih dan malas beribadah. Seseorang menyesal jika ketinggalan atau tidak sempat mengerjakan aktifitas ibadah merupakan sifat yang baik, namun rasa menyesal ini dibarengi dengan malas untuk melaksanakan ibadah tersebut hal ini merupakan kemunafikan sebagaimana yang diungkapkan Ibn Ataillah  Sangat sedih karena tidak bisa menjalankan ketaatan kepada Allah, akan tetapi merasa malas untuk melakukannya adalah tandanya ia terperdaya oleh setan. Apabila seseorang sedih karena tertinggal melakukan suatu amal kebaikan, namun ketika mendapat kesempatan tidak segera menunaikannya menundanya, maka itu pertanda seseorang telah dipermainkan oleh tipu daya hamba Dalam menjalankan ibadah pasti mengalami banyak kendala yang selalu menghalangi dia untuk beribadah, halangan tersebut salah satunya disebabkan karena bisikan setan, godaan iblis dan hawa nafsu. Seorang hamba yang memiliki iman yang lemah menjadi sangat mudah di hinggapi rasa malas dalam melaksanakan ibadah. Tetapi seorang hamba tidak dibenarkan untuk berputus asa atas rahmat Allah dengan terus bermujahadah. ketakwaan dapat ditingkatkan karena kualitas ketakwan seseorang bersifat dinamis hal ini akan tergantung dengan sebesar apa usaha yang dilakukannya. Dari penyakit hati yang dipaparkan tersebut akan melahirkan berbagai problem kehidupan dengan berbagai masalah yang dihadapi oleh seseorang, hal ini tentu dilihat dari perspektif sepritualitas khusunya dalam kajian ilmu tasawuf. Semua problem yang dialami dan kesulitan yang menimpa seseorang bersumber dari hati yang Ibid. Ibid. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 51 sakit. Maka untuk mencegah dan mencari solusi dari problem yang dihadapi hendaknya seseorang menjaga hati supaya sehat sehingga hati tidak sakit yang bisa menimbulkan problem-problem kehidupan yang sangat parah. Konsep Tasawuf Ibnu Athailah Asakandari Sebagai Basis Konseling Psikosufistik Menurut para ahli bimbingan di tanah air munculnya konseling psikosufistik di latar belakangi oleh adanya kelemahan-kelemahan pendekatan konseling yang selama ini diterapkan. Model konseling telah banyak dikembangkan dalam upaya memberikan solusi dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, tetapi menurut pandangan MD. Dahlan bahwa pijakan dalam mengembangankan model tersebut lebih menekankan pada bidang filsafat dan sains yang memiliki karakter spekulatif dan tentative kebenaran yang belum pasti dan untuk sementara waktu. oleh karena itu maka hasil dari bimbingan tidak tuntas dan hanya menyentuh kulit luarnya saja. Saran dari para ahli bimbingan seperti Rohman Natawijaya, MD Dahlan, munandir, Djamaludin Ancok, dan Dadang Hawari, bahwa nilai-nilai agama agar dijadikan landasan dalam mengembangkan model konseling di hal ini ilmu tasawuf dijadikan sebagai basis dalam pengembangan model konseling dipandang tepat, karena ajaran tasawuf dibangun berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Ajaran tasawuf fokus pada memusatkan diri atau muhasabah dan pembersihan jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Ilmu tasawuf dipandang memiliki banyak kesesuaian dengan ilmu psikologi yang selama ini menjadi bagian dalam pendekatan konseling. Alasan ini juga diperkuat karena mayoritas masyarakat indonesia menganut ajaran Islam, maka pendekatan konseling sufistik yang berlandaskan ajaran Islam diharapkan lebih efektif. Beberapa nilai dari ajaran ilmu tasawuf relevan untuk dijadikan pijakan dalam pendekatan psikosufistik. Dari bebrapa nilai ilmu tasawuf ini dapat dijadikan suatu kerangka pemikiran dalam membangun suatu pendekatan konseling Anwar, ―Model Bimbingan Dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim Dan Saleh,‖ Universitas Negeri Semarang 8 2017 4–10. Anwar Sutoyo, ―Bimbingan Dan Konseling Islami Teori Dan Praktik,‖ Yogyakarta Pustaka Pelajar 2013. Muhamad Rifai Subhi et al., ―Pendekatan Sufistik Dalam Bimbingan Dan Konseling,‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI 2019 150–156. Nendri Novita, Efektifitas Pendekatan Sufistik Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kesadaran Sholat Lima Waktu Bagi Mahasiswa Iain Batusangkar IAIN Batusangkar, 2019, accessed November 13, 2020, Yuliyatun Tajuddin, ―Komunikasi Dakwah Walisongo Perspektif Psikosufistik‖ 2014. 52 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Pertama, nila-nilai ketauhidan. Suatu nilai ketauhidan atau kepercayaan kepada tuhan menjadi pondasi dasar dalam pembentukan kesadaran ilahiyah manusia. Seorang manusia boleh menyibukan diri dalam mengejar karir dalam kehidupannya, terus belajar, juga aktif di berbagai kegiatan, namun harus ingat dibalik kesuksesan dalam meraih itu semua ada kehendak dan ketetapan Allah swt dalam mencapai hasil akhirnya. Kautsar noer menjelaskan bahwa hakikat tasawuf ialah sebuah jalan spritual yang bersumberkan dari al Quran dan al Hadits dalam rangka menuju Allah swt, dengan tetap menjalankan syariat, membentuk akhlak mulia, antara kehidupan duniawi dan ukhrawi harus seimbang. Fungsi nilai ketauhidan inilah yang menjadi penyeimbang dalam kepribadian seseorang. Kedua, nilai kemanusiaan. Penanaman nilai kemanusian ini bertujuan agar terbangun rasa kesaadaran untuk berbuat baik, saling membantu, menghormati, menghargai, mementingkan kepentingan bersama dan bertanggung jawab. Hal ini diterapkan dalam ajaran tasawuf karena agama islam tidak hanya sibuk ibadah ke pada Allah saja yang mengeyampingkan sisi kemanusiaan. Dalam ajaran islam hubungan dengan manusia juga sangat di anjurkan dan harus di bangun sengan seimbang untuk menjaga relasi sosial, kehidupan bermasyarakat dan lain sebagainya. Ketiga, kerendahan hati. Dalam ajaran tasawuf sifat rendah hati merupakan sifat yang menjadi fokus dan sangat dianjurkan. Sifat rendah hati ini akan mendidik seseorang untuk menyadari posisi dan keberadaan diri dihadapan Allah swt yang maha berkuasa, maha agung dan maha berkehendak, dengan ini seseorang akan sadar dan memahami bahwa dirinya dan orang lain adalah sama dihadapan Allah swt. Apapun jabatan dan pangkat yang dimiliki secara kemanusian adalah sama. Rasa kesadaran yang dimiliki tersebut akan menumbuhkan jiwa yang lemah lembut, yang akan menimbulkan sikap bermasyarakat dengan baik dan memliki rasa simpati dan empati dalam pegaulan sosialnya. Keempat, kearifan lokal local wisdom. Meraih kebijaksanaan yang berbasis pada kekuatan spiritual adalah puncak capaian hati seorang sufi. Karakter ini yang menjadikan seorang sufi dapat menjalani kehidupan berdampingan dengan berbagai komunitas masyarakat yang berbeda-beda. Kelima, perubahan diri. Tujuan akhir seorang yang beriman kepada Allah swt yakni dekat dengan Allah swt. Konsep tasawuf Ibn Athaillah yang dapat dijadikan sebagai pendekatan konseling sufistik, yaitu konsep tasawuf Ibn Ataillah yang ada di dalam kitab al-Hikam. Konsep tasawuf dalam al-Hikam sebagai konseling psikosufistik dan pendekatan yang berdasarkan sepritualitas bagi seseorang yang ingin mencari jalan keluar dari problem yang sedang dihadapi. Dalam Pendekatan psikosufistik nilai-nilai yang akan ditanamkan adalah nilai sufistik yang berorentasi pada upaya Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 53 menjadi pribadi yang dekat pada Allah swt. Pendekatan sufistik Ibn Ataillah lebih menitik beratkan pada konfigurasi olah hati atau Riyadah al-Qulub dan membina akhlak. Konsep riyadah al-qulub dan membina akhlak akan diuraikan sebagai berikut; Riyadah al-qulub, Ibn Ataillah mementingkan dan menekankan pada aspek hati yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hal ini beralasan bahwa hati merupakan sasaran utama atau suatu pondasi dalam membentuk kepribadian yang baik, sehat dan berakhlakul karimah. Aspek jasmaniyah tidak terlepas dari aspek bathiniyah, apabila dari aspek bathiniyah atau hati seorang muslim telah terarah dan menuju kepada hal-hal yang positif maka dapat di pastikan bahwa aspek jasmaniyah akan mengarah pada hal-hal positif juga. Seperti ungkapan Ibn Ataillah. ―tempat terbitnya bermacam-macam nur ilahi di dalam hati manusia dan rahasia-rahasianya.‖ Kitab al-Hikam Ibn Ataillah di dalamnya mengungkapkan mengenai riyadah al-qulub dapat diaplikasikan dan diterapkan oleh setiap muslim seperti ikhlas, ridha, sabar, tawadhu, tawakal, raja, khauf dan bersyukur. Penekanan dalam aspek hati yang ditawarkan oleh Ibn Ataillah ini menjadi aspek penting dalam membangun konsep konseling psikosufistik. Penjelasan dan pendalaman riyadah al-qulub akan diuaraikan sebagai berikut. Pertama, aspek Ikhlas, definisi ikhlas secara bahasa yang berarti memurnikan dan membersihkan sesuatu dari campuran, ikhlas secara istilah ada bebarapa definisi diantaranya ikhlas adalah penyucian atau pemurnian niat dari seluruh noda dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, yang dimaksud dengan noda disini misalnya mencari perhatian manusia dan pujian mereka. Ikhlas adalah seseorang yang berniat mendekatkan diri kepada Allah swt dalam melakukan ibadahnya. Tempat sifat ikhlas di hati. Di saat hati seseorang individu menjadi baik dengan ikhlas, maka seluruh anggota badan akan ikut menjadi baik, begitupun sebaliknya. Semua perkerjaan yang dilakukan oleh seorang muslim dituntut untuk ikhlas dalam melakukannya. Ikhlas menerima dari segala cobaan dan permasalahan yang sedang dihadapi akan mendatangkan berbagai kebaikan tak terkecuali solusi dari problem yang di hadapi. Langkah awal konseling psikosufistik menempatkan ikhlas sebagai langkah pertama bagi seseorang yang hendak keluar dari problem kehidupannya. Jika ikhlas sudah dilakukan, menerima segala problem dengan penuh kesadaran dan keikhlasan maka langkah selanjutnya dalam mencari solusi akan lebih mudah dan terarah. Kedua, aspek Ridha. Menerima suatu permasalahan dengan lapang dada atau menerima tanpa merasa kecewa ataupun tertekan, ini adalah pengertian Ibid. 54 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 ridha secara bahasa. Secara istilah, seseorang menerima semua kejadian yang sedang menimpa dirinya dengan lapang dada kemudian menghadapinya dengan tabah dengan tidak merasa kesal dan tidak berputus asa. Sifat ridha dijadikan jalan konseling psikospritual dengan tujuan agar seseorang ketika mendapatkan problem dapat menerima dengan tenang dan lapang dada meskipun hal ini berat. Tetapi langkah ini harus dilalui jika ingin menempuh jalan psikospritual dalam mencari solusi problem yang sedang dihadapi. Ketiga, aspek Sabar. Secara bahasa sabar ialah menahan. Dari pengertian ini dapat diuraikan secara luas bahwa sabar dalam arti luas adalah menahan dari segala kesulitan, menahan agar tidak mudah putus asa, menahan diri agar tidak mudah berkeluh kesah, menahan dari segala kesulitan. Sabar tidak dapat diartikan lemah, dengan hanya menerima merasa menyerah terhadap keadaan dan menyerahkan dan mengembalikan permasalahan kepada Allah swt tanpa di barengi dengan ikhtiar. Sifat sabar tidak seperti demikian itu, tetapi sabar merupakan usaha tanpa mengenal lelah dan gigih yang akan menggambarkan kekuatan dalam jiwa pelakunya, sehingga dapat mengalahkan dan mengontrol hawa nafsunya. menjalani sabar tidak berarti menghilangkan seluruh keinginan sampai terlupakan hingga alam bawah sadar, yang dapat mengakibatkan timbulnya penyakit kejiwaan, tetapi orang yang menjalani sabar ialah dengan mendorong dan mengerakkan jiwa dan raga untuk menggapai cita-cita yang diinginkan. dapat disimpulkan bahwa sabar adalah suatu kemampuan, ketangguhan dan keuletan dalam mengtasi masalah secara progresif, kreatif dan terus menerus dengan sesuai petunjuk aspek Tawadhu. Tawadhu adalah nama dan istilah lain dari rendah hati, rendah hati berbeda arti dengan rendah diri. Orang yang benar-benar tawadhu adalah orang yang tawadhu dan orang tersebut merasa masih kurang banyak melakukan amal ibadah dan amal-amal positif lainnya. Para ahli psikologi mengartikan rendah diri yaitu kehilangan kepercayaan diri, seseorang yang rendah diri cendrung merendahkan dirinya di hadapan orang lain. tawadhu tidak berarti rendah diri tetapi tawadhu selalu percaya diri, optimis dan berani. Seseorang yang memiliki sifat tawadhu ia merasa seperti orang biasa akan tetapi ia memiliki banyak kelebihan. Tawadhu melahirkan sikap hati yang tenang, berwibawa, rendah hati, lemah lembut, tidak memiliki sikap sombong, rasa congkak dan merendahkan orang lain. Konsep tawadhu hampir sama dengan humility sebuah konsep dalam psikologi. Humility merupakan nilai kebaikan moral yang dapat dilihat dan di ukur dari mampu mengetahui keterbatasan diri, ketidak sempurnaan diri, kesalahan diri, terbuka, dan saling menghormati individu Syarbini and Jumari Haryadi, Dahsyatnya Sabar, Syukur, Ikhlas Muhammad SAW Ruang Kata, 2010. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Jeffrey Charles Elliott, ―Humility Development and Analysis of a Scale‖ 2010. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 55 Kelima, aspek Tawakal. Mempunyai kepercayaan penuh dengan orang lain dalam menyerahkan dan menyelesaikan urusannya, ini lah makna tawakal secara bahasa. Pengertian tawakal kepada Allah swt yakni dalam mengurusi segala urusan hanya menggantungkan hasilnya kepada Allah swt. Tawakal harus hanya kepada Allah, tetapi pada kenyataannya banyak manusia yang meletakkan tawakal kepada selain Allah, banyak orang yang hanya mengandalkan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya seperti ilmunya, hartanya, atau kepada manusia. Hakikat tawakal adalah menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah setelah melakukan ikhtiar dan berusaha keras. Keenam aspek Raja’. Memiliki harapan atau optimisme ialah pengertian raja secara etimologi, secara terminologi arti raja ialah seseorang yang memiliki sikap mental yang optimis dalam mengharapkan karunia dan nikmat dari Allah swt bagi hamba-hambnya yang shaleh. Hal ini jelas harus dibarengi dengan usaha-usaha yang semakin mendekatkan dengan tujuan yang ingin bukan hanya sekedar angan-angan belaka dengan hanya mengandalkan keluasan dari rahmat Allah swt. Konsep raja dijadikan sebagai salah satu proses konseling psikosufistik karena sikap optimisme sangat diperlukan bagi seorang klien atau seseorang yang sedang berusaha bangkit kembali dari problem yang sedang dihadapi. Sikap optimis akan menumbuhkan sikap percaya diri, tidak gampang putus asa dan mudah menyerah, selalu berfikir positif dan menyikapi segala permasalahan yang dihadapi. Ketujuh aspek Khauf. Khauf merupakan rasa takut, gelisah dan khawatir yang ditimbulkan dari perasaan akan ada sesuatu yang mengancam dan menimbulkan bahaya di masa mendatang. Secara terminologi khauf ialah sikap mental yang mempunyai rasa takut kepada Allah swt karena merasa kurang dalam melaksanakan kewajiban maupun larangan yang sudah ditetapkan. Khauf atau rasa takut kepada Allah swt dapat diibaratkan sebagai cambuk yang dapat menggiring seseorang untuk lebih mendekatkan kepada-Nya, khauf inilah yang bisa mencegah seseorang dari maksiat dan menggiring kepada ketaatan kepada Allah swt. Dengan rasa khauf seseorang akan diliputi kekhusyukan dan ketengan, jauh dari kesombongan, iri dan dengki. Orang yang memiliki perasaan khauf tidak akan berpaling dari Allah swt, selalu berusaha mendekatkan diri kepada-Nya seperti bermuhasabah instropeksi, mujahadah bersungguh-sungguh dalam mengerjakan kebaikan, dan memanfaatkan dengan baik setiap hela dan tarikan nafasnya. Sikap ini akan menjadikan seseorang selalu hati-hati dalam melakukan segala hal, karena takut jika sesuatu yang dilakukan tersebut salah dihadapan Allah swt, dan akan selalu berusaha berbuat yang lebih baik lagi. Dalam mengambil keputusan akan lebih berhati-hati, dengan memikirkan dampak negatif dan positifnya yang akan diterimanya di masa Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Ibid. 56 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Kedelapan aspek Syukur. Arti syukur secara bahasa ialah berterima kasih. Secara sepesifik bersyukur adalah mengungkapkan pujian kepada sang pemberi kebahagiaan yaitu kepada Allah swt. Hakikat syukur yaitu mengungkapkan dan mengucapkan rasa terima kasih secara tulus baik di hati maupun di lisan kemudian diaplikasikan ke dalam perbuatan positif seperti amal ibadah sebagai rasa terima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan Allah swt. seorang hambda yang tidak mensyukuri nikmat dari Allah swt maka dia telah menutup jalan untuk mendapatkan nikmat, tetapi jika mensyukurinya maka berarti dia mengikat secara kuat nikmat tersebut. Ibn Athaillah menjelaskan ada tiga bagian dalam syukur; syukur lisan yakni mengucapkan rasa syukur secara lisan, syukur badan yakni menggunakan badan untuk melaksanakan beribadah dan beramal kepada Allah swt, dan syukur hati yakni mengakui dan menyakini bahwa segala nikmat yang didapat semua pemberian dari Allah konsep riyadah al-qulub, konsep tasawuf Ibn Athaillah dalam kitab al-Hikam yang dapat dijadikan sebagai pendekatan konseling psikosufistik ialah konsep dalam aspek membina akhlak. Di dalam al-Hikam Ibn Athaillah ingin membangun karakter-karakter manusia yang berakhlak karimah dan bertaqwa, secara umum Ibn Athaillah menyebutkan karakter akhlak karimah dan bertaqwa di antaranya 1. Husnudhan Selalu memiliki prasangka baik kepada Allah swt atas segala ketentuan qadla maupun qadarnya baik sesuatu yang diterimanya itu berupa kenikmatan maupun kesusahan dan musibah, kemudian berusaha keras dan berikhtia untuk menyelesaikan segala urusan dan kepentingannya. Perkataan Ibn Athaillah.       ―Jika kamu tidak berprasangka baik kepada Allah melalui kebaikan sifat-sifatnya maka berbaik sangkalah melalui segala kebaikan yang telah diperbuatnya kepadamu‖. Bukankah selama ini Allah telah membiasakan kepadamu hanya dengan kebaikan dan hanya menganugrahkan dengan pemberian,‖ sifat husnudhan akan mengantarkan seorang hamba yakin dengan segala pemberian Allah terhadap dirinya adalah yang terbaik. Dan seorang hamba akan terus menggantungkan diri kepada Allah dalam menyelesaikan segala urusannya. Seorang hamba yang memiliki sifat buruk sangka terhadap Allah swt dapat merugikan dirinya sendiri Yudy Effendy, Sabar & Syukur Rahasia Meraih Hidup Supersukses QultumMedia, 2012. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam Jalan Kalbu Para Perindu Allah SWT. Shahih, 2015. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 57 dan bahkan dapat membinasakan dirinya. Karena sesungguhnya Allah swt selalu mencurahkan karunia-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, Ibn Athaillah selalu berpesan agar senantiasa husnudzon kepada Allah swt di setiap kebahagiaan maupun cobaan yang sedang di Intropeksi Mememikirkan kembali semua perbuatan yang telah dilakukan, dari perbuatan yang telah dilakukan tersebut apakah mengandung nilai kebaikan atau keburukan, jika ternyata telah melakukan amal keburukan atau kesalahan maka yang harus dilakukan adalah berusaha melakukan pembenahan diri dengan mengantikan keburukan tersebut dengan nilai kebaikan. Perkataan Ibn Athaillah.    ―Menggali dan meniliti kembali terhadap aib-aib yang tersembunyi yang ada dalam dirimu adalah lebih baik daripada penelitianmu terhadap hal-hal yang gaib yang dirimu tertutup darinya.‖ Manusia pada hakikatnya makhluk yang sangat lemah dan terbatas dalam menjalankan perintah dan larangan agama. tidak mempunyai kekuatan secara optimal untuk menjalankan seluruh perintah dan menjauhi segala laranganya. Oleh sebab itu Ibn Athaillah menganjurkan bahwa manusia hendaknya melakukan selalu intropeksi diri dengan mengingat kesalahan dan aib dirinya sendiri. Syekh Ibn Athaillah memberikan pesan, sepatutnya menjadilah hamba yang senantiasa dan selalu istiqomah dalam berbenah diri menuju keridhaan Allah. Dan segeralah tinggalkan sikap merasa diri telah baik dalam proses pengabdian kepada Allah Istiqomah Melaksanakan amal ibadah dengan terus menerus, menjalankan ibadah dengan istiqomah memang sangat berat. Hal ini didasari karena manusia pada hakikat yang sesugguhnya sebagai makhluk yang lemah dan tempatya kelalaian maupun kesalahan. Tetapi manusa dilarang putus asa dalam berusaha untuk istiqomah dalam kebaikan. Seseorang tidak diperkenankan putus asa karena terlanjur banyak melakukan dosa, tetapi harus tetap berusaha istiqomah dalam melaksanakan ibadah serta mengharap ampunan dan kasih sayang Allah swt. Terkait dengan hal ini Ibn Athaillah mengatakan.  ―jika terlanjur berbuat dosa, janganlah menjadi penyebab engkau berputus harapan untuk istiqomah kepada tuhanmu. Mungkin hal itu akan menjadi sebab sebagai dosa terakhir yang ditakdirkan tuhan untukmu‖. Ibn Athaillah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Ibid. 58 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Manakala seorang hamba melakukan perbuatan dosa, maka pada hakikatnya ia tengah menjauh dari dekapan kasih sayang Allah. Oleh karena itu, bagi para pelaku dosa, syekh Ibn Athaillah memberikan pesan, ketika menyadari telah melakukan perbuatan dosa, maka jadikan di saat itu juga berniat untuk mengakhiri kedurhakaan kepada Allah swt, dan memohon agar kesalahan tersebut menjadi kesalahan terakhir yang engkau perbuat dan jangan sekali-kali berputus asa terhadap rahmat Allah swt, karena rahmat Allah sangat luas dan meliputi segala psikosufistik Ibn Athaillah As-sakandari yang berupa riyadah al-qulub didasarkan pada kerangka berfikir Ibn athaillah As-Sakandari mengenai timbulnya problem kehidupan dikarenakan individu tersebut memiliki penyakit hati. Jika seseorang sudah mengalami penyakit hati maka akan timbul berbagai problem kehidupan yang menimpa dirinya. Ibn Athaillah As-Sakandari menjelaskan bahwa timbulnya berbagai macam penyakit hati ditinjau dari aspek spiritual diantara dikarenakan; menunda amal ibadah kepada Tuhan, memiliki prasangka yang buruk terhadap Tuhan dan meremehkan amal kebaikan yang terlihat sepele. Pendapat Ibn Athaillah tersebut sangat relevan bagi individu yang mengalami problem kehidupan. Akhir-akhir ini problem kehidupan yang di alami oleh masyarakat modern salah satunya dikarenakan krisis masyarakat yang semakin berkembang seperti kebiasaan hidup materialistis kemudian cara berfikir yang selalu rasional dan sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak hal ini akan mengakibatkan seseorang terjebak dalam permainan dan perlombaan duniawi semata. semakin jauh dari nilai-nilai agama dan hati pun terikat hanya dengan urusan dunia sehingga timbul rasa keresahan dan ketidak tenangan dalam hati. Secara psikologis keadaan hati yang tidak baik dan merasa tidak tenang rentan menumbulkan berbagai problem kehidupan. Problem hati sangat penting dalam struktur kejiwaan seseorang. Hati yang sakit akan mengundang berbagai gangguan mental seperti iri dengki, suka berbohong, riya, ghibah, sombong, pelit, rakus dan lain sebagainya. Dari problem psikologis tersebut yang disebabkan oleh penyakit hati, Ibn Athaillah As-Sakandari memberikan solusi yang tertuang dalam konsep tasawuf nya yakni upaya riyadah al-qulub pengelolaan dan latihan hati agar selalu termotivasi mendekatkan diri kepada Allah swt. dalam perspektif konseling sufistik Ibn Athaillah As-Sakandari riyadah al-qulub meliputi sifat-sifat sebagai berikut; seperti ikhlas, tawadhu, bersyukur, ridha, sabar, tawadhu, raja dan tawakal. Konseling psikosufistik Ibn Athaillah mengedepankan pada konsep riyadah al-qulub sebagai bentuk upaya membersihkan jiwa terutama hati dari Ibid. Muhamad Rifai Subhi et al., ―Pendekatan Sufistik Dalam Bimbingan Dan Konseling,‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI 2019 150–156. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 59 berbagai sifat mazmumah. Riyadah al-qulub dijadikan sebagai proses pelatihan jiwa yang bertujuan menimbulkan prilaku yang positif. Proses pelatihan jiwa ini sangat penting terutama pada pengelolaan keadaan hati, karena jika keadaan hati seseorang sehat dan jernih dalam pandangan Ibn Athaillah dapat menjadi pengaruh positif dalam tingkah laku maupun dalam menghadapi problem kehidupan. Proses latihan riyadah al-qulub dalam bentuk pengelolaan keadaan hati maupun mimbina akhlak dengan baik merupakan upaya dan tahapan konseling islami yang sangat penting. Karena dalam proses latihan tersebut hal-hal positif yang terkandung dalam riyadah al-qulub berpotensi mampu mengubah keadaan jiwa seseorang dan terwujudnya tingkah laku terpuji. Law of exericise sebuah istilah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku. keadaan suatu jiwa akan jernih, manakala prilaku yang dilakukan seseorang tersebut mengarah kepada hal-hal yang baik dan positif. Begitupun jika sebaliknya, jika keadaan jiwa seseorang mengalami suatu penyakit maka prilaku yang ditampilkan cendrung mengarah ke hal-hal yang negatif. Pernyataan ini mengambarkan bahwa semua prilaku seseorang pasti dipengaruhi oleh suatu keadaan psikologis yang ada dalam hati, pikiran maupun perasaan. Keadaan jiwa yang bersih pasti dipengaruhi oleh keadaan hati yang sehat. Mengacu dari hal tersebut bahwa pemikiran Ibn Athaillah As-Sakandari mencerminkan sebuah teori konseling sufistik tentang hubungan hati dengan tingkah laku yang ditampilkan seseorang. Teori ini dapat menjadi suatu referensi maupun rujukan bagi para konselor dalam merumuskan hubungan antara ranah hati dan fenomena tingkah laku manusia. Penutup Konsep tasawuf Ibn Athaillah secara umum lebih menekankan aspek hati ―riyadah al-qulub‖ dan pembinaan akhlak. Konsep ini dijadikan sebagai pijakan pendekatan konseling bagi seseorang yang ingin mencari solusi dari problem yang sedang dihadapai, maupun bagi seseorang yang menginginkan kehidupan yang lebih baik lagi dengan menempuh jalan spiritualitas. Pandangan ilmu Tasawuf penyebab dari berbagai gangguan kesehatan mental yang mengakibatkan timbulnya berbagai problem kehidupan adalah karena kekosongan spiritual. Menurut Ibn Athaillah hal ini disebabkan salah satunya ialah karena penyakit hati, timbulnya penyakit hati disebabkan oleh perkara buruk, seperti menunda amal ibadah, suudzan kepada Allah, meremehkan amal, sedih dan malas beribadah. Manusia yang mengalami kekosongan spritual berpotensi munculnya gangguan kejiwaan, contohnya seperti seperti stres, depresi, cemas dan lain sebagainya.. Pada umumnya penyakit seperti ini sulit Fera Andriani, ―Teori Belajar Behavioristik Dan Pandangan Islam Tentang Behavioristik,‖ Syaikhuna 6, no. 2 2015 165–180. 60 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 disembuhkan dengan cara medis. Barangtentu penyakit batin akan lebih efektif disembuhkan dengan metode rohaniah seperti konseling psikosufistik. Konsep Ibn Athaillah dalam menangani hal seperti ini ialah dengan menekankan Riyadah al-qulub dan membina prilaku yang baik. Riyadah al-qulub sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, yakni diaplikasikan dengan latihan-latihan yang berkenaan dengan hati seperti; Ikhlas, Ridha, Sabar, Tawadhu, Tawakal, Raja, Khauf dan Syukur. Disamping hal ini, akhlak juga harus dibina guna menumbuhkan karakter manusia berakhlak karimah dan bertaqwa. Menurut Ibn Athaillah karakter manusia yang bertaqwa ialah; selalu Husnudhan kepada Allah swt, Instropeksi diri dan Istiqomah dalam menjalankan amal ibadah. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam konseling Islam. Maka dalam melakukan konseling Islam, pendekatan ilmu tasawuf Ibn Athaillah dapat dijadikan sebagai basis, metode dan landasan untuk konseling spiritual. Daftar Pustaka Achmad, Ubaidillah. ―Teori Kehendak Manusia Perspektif Psiosufistik Al-Gazali.‖ Konseling Religi 6, no. 2 2015. Andriani, Fera. ―Teori Belajar Behavioristik dan Pandangan Islam tentang Behavioristik.‖ Syaikhuna 6, no. 2 2015 165–80. Anwar, Sutoyo. ―Model Bimbingan dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim dan Saleh.‖ Universitas Negeri Semarang 8 2017 4–10. Arifudin, Muhammad. ―Corak Tasawuf Kitab Hikam Karya Ibn ‗Athaillah As-Sakandari Dan Implikasinya Dalam Pembentukan Akhlak Di Pondok Pesantren Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik.‖ Masters, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018. Aryati, Azizah. ―Pemikiran Tasawuf Syeikh Ibn ‗Atoillah as-Sakandari Dalam Kitab Al Hikam Kajian Tentang Rekonstruksi Dan Kontribusi Nilai-Nilai Tasawuf Dalam Pendidikan Islam.‖ Manhaj Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat 6, no. 1 2017. Aryati, Azizah, dan Ismail Ismail. ―Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pemikiran Tasawwuf Ibnu Athoillah as-Sakandari,‖ 76–83. IAIN Bengkulu, 2019. As-Sakandari, Syekh Ibnu Athaillah. Kitab Al-Hikam Jalan Kalbu Para Perindu Allah SWT. Shahih, 2015. Muhammad Taufiq Firdaus Konsep Tasawuf Ibn Athaillah al-Sakandari.... 61 Azmi, Alia. ―Individualisme Dan Liberalisme Dalam Sekularisme Media Amerika.‖ Humanus 12, no. 1 28 Juni 2013 33–42. Basyar, Achmad Beadie Busyroel. ―Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang pendidikan sufistik dan relevansinya dengan pendidikan karakter di Indonesia Telaah Kitab al-Ḥikam al-Aṭāiyah.‖ Undergraduate, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2016. Effendy, Yudy. Sabar & Syukur Rahasia Meraih Hidup Supersukses. QultumMedia, 2012. Elliott, Jeffrey Charles. ―Humility Development and analysis of a scale,‖ 2010. Fauzi, Ahmad. ―Psikosufistik Pendidikan Islam Dalam Perspektif Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah.‖ Jurnal Intelektual Jurnal Pendidikan Dan Studi Keislaman 8, no. 2 1 Agustus 2018 229–40. Fauziyyah, Hanifah. ―Konseling sufistik dalam pembinaan akhlak siswa Studi kasus di Pondok Pesantren Al-Falah 2 Nagreg,‖ 2019. Ghozali, Muhammad Luthfi. Percikan Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho’illah As-Sakandari. Kencana, 2011. Hadziq, Abdullah. Rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistik. Rasail, 2005. Heldi, Heldi. ―Pola Konsumsi Masyarakat Post-Modern Suatu Telaah Perilaku Konsumtif Dalam Masyarakat Post-Modern.‖ Al-Iqtishad Jurnal Ilmu Ekonomi Syariah 1, no. 1 7 Januari 2009. Hidayat, Fahrul, Arisatul Maulana, dan Doni Darmawan. ―Komunikasi Terapeutik Dalam Bimbingan Dan Konseling Islam.‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling Dan Dakwah Islam 16, no. 2 2019 139–51. Ibn Athaillah As-Sakandari, Syaikh. Kitab Al-Hikam, Petuah-Petuah Agung Sang Guru. Diterjemahkan oleh Ismail Baadillah. Jakarta Khatulistiwa Press, 2017. Mucharor, Mucharor. ―Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari,‖ 2015. Mujib, Abdul. ―Model Kepribadian Islammelalui Pendekatan Psikosufistik.‖ Nuansa 8, no. 1 2015. Novita, Nendri. Efektifitas Pendekatan Sufistik Melalui Layanan Bimbingan Kelompok Untuk Meningkatkan Kesadaran Sholat Lima Waktu Bagi Mahasiswa Iain 62 Islamic Counseling Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, Vol. 5, No. 1, 2021 Batusangkar. IAIN Batusangkar, 2019. Nurcholis, Ahmad. ―Peran Tasawuf dalam Merekonstruksi Krisis Spiritualitas Manusia Modern.‖ Sosio Religi, 2012. Nurdin, Muhammad, Muhammad Harir Muzakki, dan Sutoyo Sutoyo. ―Relasi Guru Dan Murid Pemikiran Ibnu ‗Athaillah Dalam Tinjauan Kapitalisme Pendidikan.‖ Kodifikasia 9, no. 1 2015 121–46. Rosmalina, Asriyanti. ―Pendekatan Bimbingan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja.‖ Holistik 1, no. 1 2016. Sabiq, Zamzami. ―Konseling Sufistik Harmonisasi Psikologi Dan Tasawuf Dalam Mewujudkan Kesehatan Mental.‖ ’Anil Islam Jurnal Kebudayaan Dan Ilmu Keislaman 9, no. 2 31 Desember 2016 328–52. Subhi, Muhamad Rifai. ―Development of Islamic Counseling Concept spiritual Issues in Counseling.‖ Hisbah Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam 13, no. 1 1 Juni 2016 121–34. Subhi, Muhamad Rifai, Cece Rakhmat, Syamsu Yusuf LN, dan Nandang Budiman. ―Pendekatan Sufistik dalam Bimbingan dan Konseling.‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI, 2019, 150–56. ———. ―Pendekatan Sufistik dalam Bimbingan dan Konseling.‖ Konvensi Nasional Bimbingan dan Konseling XXI, 2019, 150–56. Sutoyo, Anwar. ―Bimbingan dan Konseling Islami teori dan praktik.‖ Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2013. Syarbini, Amirulloh, dan Jumari Haryadi. Dahsyatnya Sabar, Syukur, Ikhlas Muhammad SAW. Ruang Kata, 2010. Syukur, Muhammad Amin. ―Sufi Healing Terapi Dalam Literatur Tasawuf.‖ Walisongo Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, no. 2 15 Desember 2012 391–412. Tajuddin, Yuliyatun. ―Komunikasi Dakwah Walisongo Perspektif Psikosufistik,‖ 2014. ... Thus the soul that is ready through the process of counseling must be ready to migrate the mind towards a new positive mind. Counseling that uses psychosufism is more geared towards counseling that applies the values of tasawwuf and it is different from ordinary counseling Firdaus, 2021. Masroom's study 2016 explains that the concept of mental health according to the Islamic perspective needs to be understood accurately because it is very important and this matter is not discussed in the field of psychology. ...Muhammad Ibnu Faruk FauziIbn Athaillah is a figure of the Shadziliyah order, where syadziliyah is one of the leading Sufi orders in the world, especially in Indonesia. Ibn Athaillah was a prolific scholar with his works in the fields of interpretation, Sufism, hadith, aqidah, nahwu, and ushul fiqh. One of his best known works in the field of Sufism is the book of Al-Hikam. Al-Hikam is a popular book among Muslims. The Book of Al-Hikam is the main work of ibn Athaillah which has been very popular in the islamic world for centuries to the present day. This book is also the main study of almost all Islamic boarding schools in Indonesia. It contains wise words about morals, heart, and his relationship with the Khaliq, namely Allah Almighty. Ibn Athaillah in his study in the book of Al-Hikam with reference to the Qur'an and As-Sunah. The Book of Al-Hikam is a hallmark of Ibn Athaillah's thought, especially in terms of Sufism. This athaillah thought is not just a sufism style that prioritizes theology, but contains elements of shari'a experience, tarikat, and essence pursued in a methodical HidayatArisatul MaulanaDoni DarmawanGuidance and counseling services is a service intended for all people, meaning that anyone can accept this service. However, service delivery must be done by people who are truly professionals who understand the techniques and methods of implementation. The guidance and counseling process is a service that always prioritizes communication. Communication is a vital tool that must be considered by the counselor. For that communication must be built as comfortable as possible by the counselor. One of the things that supports the success of the guidance and counseling service process is the therapeutic communication atmosphere, which means that the atmosphere is focused on healing the client. Therapeutic is basically known in the world of nursing but at this time therapeutic is also beginning to be known in the guidance and counseling services. In this study, we conducted a literature study that discusses therapeutic communication that can be done in counseling and guidance services. The conclusion of this study is that therapeutic communication is in principle a professional communication that leads to the goal. To be able to carry out the therapeutic communication process effectively, counselors need to master communication techniques. In its actualization, therapeutic communication is used by the counselor to instill confidence in the counselee and create a close relationship between the two in order to be able to open themselves to each other in handling problems and then the goals to be achieved can be implemented to the maximum. Keywords communication, guidance and counseling, Rifa’i SubhiPerdebatan panjang yang terjadi dalam pengembangan konsep konseling islam oleh para ahli dari berbagai negara menjadi isu aktual yang menarik untuk dibahas. Hal ini memperjelas kemana arah pengembangan konsep konseling islam, sehingga ditemukan ciri khas dari apa yang sebenarnya dikaji dalam konseling islam. Penelitian ini membahas tentang perdebatan tersebut yang bertujuan untuk memetakan konsep konseling islam dari berbagai ahli, dengan menggunakan 3 artikel utama dari 3 tokoh yang memiliki pendekatan berbeda dalam mengembangkan konsep konseling islam. Metode penelitian yang digunakan ialah analisis isi content analysis, yakni proses penguraian data, pengkonsepan, dan penyusunan kembali dengan cara baru. Langkah-langkah yang ditempuh dalam analisis isi meliputi, Open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan konsep konseling islami merupakan suatu hal yang baru dalam dunia konseling. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila dalam proses pengembangannya menuai pro dan kontra dari pihak-pihak pendahulu yang sudah memiliki metodologi dan konsep keilmuan yang sudah teruji, baik secara teoritis maupun praktis. Pihak-pihak yang kontra dengan pengembangan ini ialah mereka yang tidak mengakui adanya dimensi spiritualitas yang menjadi sasaran utama dalam konsep konseling islami, beberapa diantaranya ialah Freudian, Adlerian, dan lain-lain. Adapun pihak yang terus memperjuangkan pengembangan konsep konseling islami ialah para cendekiawan muslim yang sebagian besar berasal dari Afrika Selatan, Asia, dan Amerika. Dalam mengembangkannya pun tidak sedikit dari mereka yang menemukan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh penggunaan sudut pandang atau pendekatan yang berbeda dalam merumuskan konsep konseling islami. Keadaan seperti ini semakin memperkuat posisi pengembangan ini sebagai isu dalam dunia konseling. Kata Kunci Konsep, Konseling, Konseling Islam. Alia AzmiLiberal thoughts argue that men have rational and logical ability to decide the rightest and best choice for themselves, which means that men are autonomous in determining their life’s orientation and truth. Therefore men cannot be forced to accept certain general truth from the society because each person have distinguished goal, which is incommensurable. The single interpretation of truth is considered incompatible with human ability to contemplate their objectives. This makes the basis of the secular practice in American society; the separation of church religion and state, where religion is considered private matters. The amendment of the constitution clearly notes that state should not make any law respecting or against practice of any religion. This practice can be seen in the American mass media, where most hold liberal view and shun away from religious debates. Media as a public sphere play an important role in facilitating the debate about discourses, therefore refrain from private matters such as religion. Key words liberal self-determinism, secularism, American mediaMuhammad NurdinMuhammad Nurdin Muhammad Harir MuzakkiSutoyo SutoyoKapitalisme pendidikan telah merubah orientasi pendidikan dan pola relasi guru-murid ke arah yang materialis dan mekanis. Sebaliknya, tujuan pendidikan dan model hubungan guru-murid dalam pendidikan yang Islami lebih bersifat spiritual dan berupa penghambaan demi meraih ridla Allah. Penelitian kepustakaan ini mengkaji pandangan Ibnu Athaillah tentang relasi guru-murid ditinjau dari perspektif kapitalisme pendidikan. Sumber data utamanya adalah buku-buku karangan Ibnu Athaillah tentang relasi guru-murid, terutama kitab al- Hikam, dan buku-buku karangan penulis lain yang mengulas tentang kapitalisme pendidikan. Artikel ini menyimpulkan bahwa pandangan Ibnu Athaillah tentang relasi guru-murid secara khusus dan hakekat pendidikan secara umum perlu direvitalisasi di masa sekarang, karena kapitalisme pendidikan dalam beberapa segi telah menghilangkan spirit ruhaniah dalam pendidikan dan justru mendukung proses-proses yang mengarah kepada Bimbingan dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim dan SalehSutoyo AnwarAnwar, Sutoyo. -Model Bimbingan dan Konseling Sufistik Untuk Mengembangkan Pribadi Yang ‗Alim dan Saleh.‖ Universitas Negeri Semarang 8 2017 sufistik dalam pembinaan akhlak siswa Studi kasus di Pondok Pesantren Al-Falah 2 NagregHanifah FauziyyahFauziyyah, Hanifah. -Konseling sufistik dalam pembinaan akhlak siswa Studi kasus di Pondok Pesantren Al-Falah 2 Nagreg,‖ Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho'illah As-Sakandari. KencanaMuhammad GhozaliLuthfiGhozali, Muhammad Luthfi. Percikan Samudra Hikmah Syarah Hikam Ibnu Atho'illah As-Sakandari. Kencana, psikologi sufistik dan humanistik. RasailAbdullah HadziqHadziq, Abdullah. Rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistik. Rasail, Kepribadian Islammelalui Pendekatan PsikosufistikAbdul MujibMujib, Abdul. -Model Kepribadian Islammelalui Pendekatan Psikosufistik.‖ Nuansa 8, no. 1 2015.Asriyanti RosmalinaPendekatanRosmalina, Asriyanti. -Pendekatan Bimbingan Konseling Islam Dalam Meningkatkan Kesehatan Mental Remaja.‖ Holistik 1, no. 1 2016.
Sudahtentu yang pertama menuju “surga” karena keikhlasan hatinya, sementara yang kedua menuju “neraka” karena penyakit hati yang menghinggapinya. Ibnu Athaillâh dalam kitab al-Hikam, untuk menunjukkan pentingnya kebersihan hati, bahkan memilih jalan kemaksiatan daripada ketaatan, saat kemaksiatan mampu berujung pada kehinaan diri dan

Jodoh merupakan istilah yang dimengerti oleh hampir semua orang. Ada berbagai sebutan untuk jodoh, diantaranya adalah pasangan hidup, teman hidup, tambatan hati, bahkan ada pula yang menyebut dengan ungkapan separuh jiwa yang berarti jika kehilangan atau terpisah akan terasa seperti kehilangan segalanya atau kehilangan sesuatu separuh dari hidupnya. Jodoh menurut islam adalah salah satu misteri yang senantiasa dipertanyakan oleh umat mukmin baik laki laki ataupun perempuan, sebab hanya Allah yang mengetahui dan menentukan jodoh untuk hamba dalam islam adalah sebuah cerminan diri, jika seseorang itu baik, InsyaAllah akan mendapatkan jodoh yang baik pula, dan sebaliknya. Jika seseorang itu baik tetapi mendapatkan jodoh yang belum sebaik dirinya, hal itu merupakan ujian dari Allah agar menuntunnya ke jalan kebaikan. Hanya Allah yang mengetahui. Wallahualam. Bagaimana jodoh tercipta dan seperti apa Allah memberikan yang terbaik untuk hamba Nya telah Allah jelaskan dalam berbagai firman Nya, berikut 15 ayat Al Qur’an tentang jodoh 1. QS An Nur Ayat 26“Wanita wanita yang keji adalah untuk laki laki yang keji, dan laki laki yang keji adalah untuk wanita wanita yang keji pula. Dan wanita wanita yang baik adalah untuk laki laki yang baik dan laki laki yang baik adalah untuk wanita wanita yang baik pula”. QS An Nur 26. Jelas dalam firman tersebut bahwa Allah memberikan jodoh berdasarkan akhlak dari hamba Nya tersebut, sebab itulah senantiasa ada nasehat bahwa setiap orang hendaknya memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan Nya agar kelak mendapat jodoh yang baik QS An Nur Ayat 3“Laki laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki laki yang berzina atau laki laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang orang yang mukmin”. QS An Nur 3. Firman ini juga merupakan cermin dari jodoh yang Allah ciptakan untuk hamba Nya, wanita atau lelaki yang berzina nantinya akan mendapatkan jodoh yang seperti dirinya, setiap dari kita wajib menjaga diri dari segala perbuatan maksiat agar kelak mendapatkan jodoh yang mengajak kepada kebaikan QS Al Maidah Ayat 5Allah menghalalkan seorang laki laki dan wanita yang sholeh yaitu yang masing masing menjaga kehormatan dirinya untuk menyatukan hubungan mereka dalam ikatan yang halal. Merupakan sebuah nikmat terindah dari Allah jika dua orang yang saling mencintai bersatu dalam ikatan yang halal dengan niat beribadah kepada Nya. “Dan dihalalkan mengawini wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita wanita yang beriman dan wanita wanita yang menjaga kehormatan diantara orang orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berzina”. QS Al Maidah 5.4. QS Al Baqarah Ayat 221Jodoh berarti sesuatu yang di rihoi Allah, jika mencintai lawan jenis yang musyrik tandanya bukan mencintai karena Allah sebab mengharap jodoh karena Allah senantiasa mementingkan agamanya terlebih dahulu. “Dan janganlah kamu menikahi wanita wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita mmusyrik walaupun dia lebih menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan ijin Nya”. QS Al Baqarah 2215. QS An Nur Ayat 32“Dan nikahilah orang yang masih membujang diantara kamu dan juga orang orang yang layak menikah dari hamba hamba sahaya mu yang laki laki dan perempuan. Allah akan memberikan kemampuan pada mereka denga karunia Nya dan Allah maha luas pemberian Nya”. QS An Nur 32. Tak perlu khawatir jika anda mendapat jodoh yang mungkin masih berjuang untuk mapan, sebab Allah memberikan jodoh disertai dengan jalan mendapat rejeki yang QS Ar Rum Ayat 21Jodoh akan menjadikan dua orang menjadi tentram hatinya dan memiliki kasih sayang satu sama lain. “Dan diantara tanda tanda kekuasan Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepasanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”. QS Ar Rum 217. QS Al Furqan Ayat 74Allah menyukai hamba Nya yang berdoa dan berikhtiar, tak ada salahnya menyelipkan doa disertai senantiasa memperbaiki diri agar mendapat jodoh yang terbaik dari Nya. doa mendapatkan jodoh dan rezeki menurut al quran merupakan salah satu terbaik yang bisa dilakukan hamba-Nya untuk mendapatkan keberkahan. “Dan orang orang yang berkata Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang orang yang bertaqwa”. QS Al Furqan 74. 8. QS Ar Rad Ayat 38Allah telah menciptakan jodoh sejak jaman terdahulu, sejak Nabi Adam AS diciptakan telah Allah ciptakan Hawa sebagai jodohnya. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri istri dan keturunan”. QS Ar Rad 38.9. QS Az Dzariyat Ayat 49Allah menciptakan jodoh agar manusia senantiasa bersyukur dan mengingat kebesaran Allah, sebab jodoh merupakan sebuah anugrah, darinya akan didapatkan teman hidup sebagai pasangan dan penenang hati di dunia hingga di akherat nanti. takdir jodoh menurut islam sudah ditentukan oleh Allah dengan orang yang tepat dan terbaik bagi setiap hamba-Nya. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. QS Az Dzariyat 49. 10. QS An Nisa Ayat 1“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah mencitpakan istri nya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama Nya kamu saling mencinta satu sama lain”. QS An Nisa 1. Allah memerintahkan hamba Nya untuk bertaqwa agar mendapat jodoh yang bertaqwa pula, dengan jodoh Allah akan menciptakan keturunan dan perasaan saling mencinta satu sama QS Thaaha 39Jodoh tidak hadir begitu saja, ada yang mendapatkan jodoh di usia muda, ada pula yang sebaliknya, Allah mengatur yang demikian karena kuasa Nya, dari kasih sayang yang diturunkan oleh Allah, itulah sebabnya setiap manusia harus berikhtiar dan berharap hanya kepada Allah. “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari Ku, dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan Ku”. QS At Thaahaa 3912. QS Ali Imran Ayat 14Setiap lelaki sejatinya memiliki rasa tertarik atau minat terhadap wanita, hal itu merupakan kodrat dari Allah sebagai salah satu alasan diciptakannya jodoh. “Dijadikan indah bagi manusia kesukaan kepada benda benda yang diingini, yaitu perempuan perempuan”. Ali Imron 1413. QS Al Anbiya Ayat 89Doa ini adalah salah satu doa dalam ayat Al Qur’an yang diungkapkan oleh Nabi Allah sebagai wujud berharap mendapatkan jodoh yang terbaik, jodoh akan melenyapkan seseorang dari rasa kesendirian dan kesepian, juga kelak memberikan keturunan sebagai pelengkap dan amanah dari Allah. “Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku seorang diri, Engkaulah ahli waris yang paling baik”. Al Anbiya 8914. QS Yassin Ayat 36“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan makhluk makhluk semuanya berpasangan baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi, atau dari diri mereka, ataupun dari apa yang mereka mengetahuinya”. QS Yassin 36. Dari firman tersebut Allah menjamin kepada hamba Nya bahwa Dia telah menciptakan segala sesuatu berpasang pasangan, Allah memberikan pasangan tersebut sebagai jodoh untuk jalan beribadah kepada yang belum dipertemukan oleh Allah dengan jodohnya hendaknya senantiasa memperbaiki diri dan berikhtiar agar mendapat jodoh di waktu terbaik yang diatur oleh Allah. Bagi yang telah dipertemukan dan telah memiliki hubungan yang halal juga wajib bersyukur, memperbaiki diri, dan saling mengajak dalam kebaikan agar kelak menjadi jodoh hingga di akherat pula. Kemudian untuk tanda tanda jodoh dari allah sendiri memang terkadang tidak diduga – QS An Najm Ayat 45“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang pasangan pria dan wanita”. QS An Najm 45.Dari firman firman Allah yang telah disebutkan di atas jelas bahwa jodoh telah diciptakan dan dijamin keberadaannya oleh Allah, tentunya Allah menciptakan jodoh karena rasa kasih sayang Allah untuk hamba Nya, sebagai umat mukmin tak perlu khawatir tentang jodoh selama menjadi hamba Nya yang bertaqwa dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Nya, sebab Allah telah menjamin memberikan jodoh yang terbaik sesuai cermin dari dirinya jaga diri, berikhtiar, dan mengharap serta menerima jodoh kita semata karena beribadah kepada Allah. Semoga bermanfaat ya sobat pembahasan kali ini mengenai ayat tentang jodoh dalam islam. Sampai disini dulu dan sampai jumpa di lain kesempatan. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk mampir dan juga membaca. Salam hangat dari penulis.

.
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/89
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/920
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/509
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/286
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/976
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/665
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/568
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/712
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/717
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/723
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/60
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/590
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/298
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/683
  • 3t55d3wn1z.pages.dev/416
  • jodoh menurut ibnu athaillah